Ingin Belajar Menjadi Ilmuwan Hebat? Ini 3 Tips dari Pemenang Hadiah Nobel
Bakat Anak – Bagaimana sih rasanya menjadi ilmuwan hebat?
Berkarier sebagai peneliti atau ilmuwan bisa menjadi pilihan anak Anda suatu hari nanti. Hal ini tentu diawali dengan berbagai kegemaran terkait berpikir ilmiah, seperti bertanya, menyelidik, bahkan melakukan berbagai eksperimen. Apa saja kiat belajar menjadi ilmuwan hebat yang bisa anak kita lakukan?
Salah satu hal yang menakjubkan buat saya semasa kecil adalah dengan menjadi ilmuwan. Saat itu, televisi masih menjadi pilihan sumber pengetahuan, karena (untungnya) sering menayangkan serial dokumenter. Saya kemudian bercita-cita menjadi arkeolog. Ilmu pengetahuan (mulanya alam, lalu sosial) menunjukkan betapa dunia kita memiliki banyak rahasia untuk diungkap.
Saya rasa, kegemaran berbau ilmuwan ini melekat secara alami dalam diri anak. Lihat saja betapa anak suka bertanya tentang apapun, termasuk hal-hal yang orangtuanya sulit jawab: misalnya, dari mana si anak muncul. Jika anak tak puas dengan jawaban pertama yang diberikan ayah ibunya, ia akan terus bertanya… banyak jika memungkinkan, mencari sendiri jawaban atas pertanyaannya tersebut.
Nah, buat anak Anda yang gemar bertanya, menyelidik, atau bahkan melakukan eksperimen kecil-kecilan di rumah bak seorang ilmuwan, tidak ada salahnya untuk mengintip dan menerapkan 3 kiat belajar menjadi ilmuwan hebat yang sudah saya sarikan buat Ayah Ibu. Siapa tahu, kegemaran berpikir dan melakukan metode ilmiah yang dilakukan anak (dalam bidang apapun, dari biologi sampai robotika) bisa mengantarkannya menjadi ilmuwan hebat!
Belajar Mendalam, bukan Melebar
Siapa sih yang nggak suka melihat semua nilai mata pelajaran di rapor anak bagus? Ada tapinya nih… Ternyata, salah satu kiat belajar menjadi ilmuwan hebat bukanlah menjadi jack of all trades alias cukup menguasai semua bidang, namun saat anak mampu memilih fokus belajar dan mendalaminya.
Lho, kalau begitu, apa kita harus mengabaikan nilai anak yang jelek? Tentu tidak, namun sebagai orangtua, mengapa kita harus menuntut anak agar mendapat nilai bagus di semua bidang? Penelitian Marc Schwartz dan kawan-kawan menunjukkan bahwa anak SMA yang memilih menekuni satu topik sains secara mendalam, memiliki nilai yang lebih bagus di perkuliahan ketimbang anak lain yang memilih belajar lebih banyak topik di waktu bersamaan.
Implikasinya sederhana: anak yang tahu hal apa yang mereka suka dan ingin tekuni, akan lebih mahir di bidang tersebut: ini juga merupakan tuntutan keahlian yang harus dimiliki seorang ilmuwan. Lagipula, berapa banyak anak yang bingung harus masuk jurusan IPA, IPS, atau Bahasa, atau memilih kuliah apa, karena mereka tak punya satu topik apapun yang ingin mereka perdalam? Saya harap, anak Ayah Ibu tak perlu mengalaminya.
Terlalu Kencang Menyetel Lagu, Remaja Ini Diomeli Orangtuanya. Lihat Yang Terjadi Kemudian
Di Balik Kenyamanan Hidup, Remaja Ini Justru Bikin Teknologi Microhydro untuk Desa Terpencil
Meski Hanya Pegawai Biasa, Pemuda Satu Ini Bisa Meraih Nobel Fisika
Mengedepankan dan mengapresiasi usaha anak
Konsep growth mindset yang diperkenalkan seorang psikolog pendidikan, Carol Dweck, berarti pola pikir yang percaya bahwa dengan usaha yang memadai, kemampuan anak menguasai suatu mata pelajaran akan berkembang. Ini mirip dengan orang yang melakukan fitness untuk membentuk tubuh mereka. Otak pun ternyata bisa diperlakukan dengan cara yang sama.
Tentu, ini tidak dimaksudkan agar Ayah Ibu bisa menekan anak untuk – sekali lagi – mendapatkan nilai bagus di semua mata pelajaran. Growth mindset dimaksudkan agar anak yang menyerah karena merasa dirinya bodoh (dalam matematika misalnya), mau bangkit dan kembali berusaha. Itulah sebabnya, dalam mengapresiasi hasil belajar anak, lebih baik untuk memuji usaha spesifik anak, bukan mengatakan bahwa dia pintar.
Karena konsekuensi mengatakan anak pintar adalah, sekali anak mendapatkan nilai jelek, ia akan berpikir bahwa ia bodoh. Atau sebaliknya, anak tak mau beranjak dari tingkat kesulitan belajarnya sekarang, karena khawatir jika saat ia tidak bisa mendapatkan nilai bagus, ia tak dianggap pintar lagi. Ini tentu tak akan membantu anak Anda menjadi ilmuwan hebat nantinya.
Mencintai, meskipun sulit
Salah satu tantangan berpikir ilmiah yang banyak dihadapi para mahasiswa dalam mengerjakan skripsi adalah beban yang terlalu berat. Analisis data yang menyulitkan, hasil penelitian yang tidak sesuai dengan perkiraan, dan masih banyak lagi.
Namun, bagi Craig Mello, pemenang Hadiah Nobel di bidang Kedokteran pada 2006, justru kesulitan ini adalah sebuah kenikmatan. Karena saat anak berusaha dan pada akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaannya, ada kepuasan tersendiri yang bisa anak rasakan. Hal ini tentu tidak dirasakan mereka yang belajar di tingkat kesulitan yang mudah-mudah saja.
Pengejaran jawaban atas sebuah pertanyaan yang mengusik anak – seperti yang dialami banyak ilmuwan – adalah cara anak mencintai ilmu pengetahuan. Iya, menjadi ilmuwan hebat berarti mencintai ilmu pengetahuan, meskipun sulit. Artinya, ada saatnya kegemaran anak pun terasa tidak menyenangkan, dan ini membutuhkan peran Ayah Ibu untuk mendukung anak berusaha melampaui kesulitan tersebut.
Bagaimana Ayah Ibu menumbuhkan sikap berpikir ilmiah pada anak?
Foto oleh Lotzman Katzman
tapi untuk mendalami suatu pelajaran cukup sulit karena ada banyak pelajaran di indonesia. saya tertarik mendalami fisika karena bagi saya fisika sangat menyenangkan tapi disisi lain saya juga harus menjaga nilai matematika.