Mengembalikan Belajar pada Anak? Ini 4 Manfaatnya
Bakat Anak – Apa dampak personalized learning dalam pengembangan bakat anak?
Saat kita percaya bahwa pengembangan bakat anak bersifat pribadi, yang berarti becermin pada keunikan anak, kita harus mengembalikan belajar pada mereka. Bagaimana cara melakukannya? Personalized learning bisa menjadi salah satu perspektif dalam pengembangan bakat anak yang selaras dengan pendidikan yang menumbuhkan. Benarkah?
Kalau Ayah Ibu cukup akrab dengan sosok Albert Einstein, fisikawan yang mengusung teori relativitas, Anda akan tahu bahwa ia beberapa kali gagal lulus tes masuk sebuah universitas di Zurich. Melihat pengalamannya dalam berkuliah dan menjalani berbagai tes, Einstein sempat berujar, “Orang harus memasukkan semua materi ke dalam kepalanya saat menghadapi tes, suka atau tidak suka. Pemaksaan ini membawa dampak yang memuakkan bagi saya, bahwa setelah saya akhirnya lulus ujian akhir, saya mendapati bahwa selama setahun berikutnya, saya tidak bisa menikmati problem-problem dalam sains.”
Pernyataan Einstein tersebut mungkin mengagetkan bagi kita, bahwa seorang fisikawan pun pernah jengah dengan sains. Di titik ini, Einstein melempar sebuah pendapat lain mengenai pendidikan. “Adalah sebuah kesalahan besar dalam berpikir bahwa kegemaran dalam menyelidiki dan mencari tahu dapat didorong dengan pemaksaan dan kewajiban.”
Apa yang diisyaratkan oleh fisikawan terkenal tersebut? Adalah bahwa pembelajaran tidak dapat dinilai dari satu cara saja, apalagi kalau cara tersebut memaksa atau mewajibkan semua anak mengikutinya. Seharusnya, pembelajaran dikembalikan kepada keingintahuan dan minat anak yang unik dalam melihat dan merespon suatu hal, termasuk berbagai bidang bakat. Nah, bagaimana caranya?
Pengembangan Bakat Anak itu Milik Anak
Terlalu Kencang Menyetel Lagu, Remaja Ini Diomeli Orangtuanya. Lihat Yang Terjadi Kemudian
Di Balik Kenyamanan Hidup, Remaja Ini Justru Bikin Teknologi Microhydro untuk Desa Terpencil
Personalized learning adalah sebuah terminologi untuk menjelaskan bagaimana pembelajaran, baik di rumah, di sekolah, maupun di lembaga dan kursus bakat, perlu dikembalikan pada keunikan anak. Penelusuran James Keefe dan John Menkins menemukan fakta bahwa paradigma ini juga dipercaya John Dewey, pakar pendidikan Amerika Serikat. Ia pulalah yang kemudian pertama kali mengimplementasikan personalized learning dalam proyek laboratorium sekolah di University of Chicago, pada 1896.
Secara sederhana, apa yang dimaksud dengan personalized learning adalah dari (1) kegiatan belajar yang beragam, sehingga anak dapat mencoba hal yang paling sesuai dengan dirinya, (2) topik yang fleksibel, sehingga setiap tujuan belajar (misalnya, anak berpikir kritis) dapat disesuaikan dengan minat anak, yang mana membuat (3) belajar jadi lebih bermakna buat anak.
Personalized learning mengisyaratkan kegiatan belajar yang memang bermula dari keunikan anak, seperti apa yang telah Albert Einstein singgung. Kita tidak akan pernah bisa mewajibkan, bahkan memaksa anak untuk menekuni suatu bakat. Einstein yang menggandrungi fisika pun, kehilangan motivasi untuk belajar sains gara-gara ujian. Apalagi kalau dia tak pernah berminat dengan fisika?
Oleh sebab itu, kita perlu memahami empat konsekuensi sekaligus kekuatan personalized learning, yakni saat belajar dikembalikan kepada anak, bukan orangtua maupun gurunya. Apa saja?
Pertama, anak bergerak dari objek menjadi subjek pembelajaran. Personalized learning juga memandang anak sebagai benih kehidupan, bukan kertas kosong, yang mampu tumbuh kuat menembus tanah dan menjadi diri yang otentik.
Kita perlu mengubah anggapan tentang anak, dari menganggap mereka belajar karena termotivasi secara eksternal, kini belajar karena ingin. Anak menekuni suatu bidang bakat, bukan lagi karena bakat tersebut sedang ngetren atau bahkan karena ego orangtua. Bukan pula cuma karena piala atau juara, tetapi panggilan jiwa untuk berkembang sebagai seorang ahli pada bidang bakat yang dipilih anak.
Kedua, sebagai subjek pembelajaran, anak kini bebas memilih, sekaligus bertanggung jawab atas pilihannya. Saat anak ingin belajar robotika misalnya, ia pun belajar berkomitmen, baik untuk memperdalam pengetahuan, pula menyisihkan waktunya untuk berbagai eksperimen. Sekaligus, anak berhak untuk didengar, baik dari segi kebutuhan, maupun lebih dalam, tantangannya untuk menggeluti bidang bakat yang dipilih, serta menumbuhkan gemar belajar pada topik tersebut.
Ketiga, dalam personalized learning, anak turut mendesain kegiatan belajar dan pengembangan bakatnya. Ini merupakan konsekuensi lanjutan dari kebebasan anak untuk memilih. Sebagai subjek pembelajaran, anak mampu memahami cara terbaiknya untuk belajar, sehingga ia perlu dilibatkan dalam menentukan apa dan bagaimana ia mempelajari apa yang diminatinya.
Kadang kita luput dalam memahami cara belajar yang efektif buat anak, entah karena kita kurang memperhatikan, atau kita menganggap bahwa sebuah cara belajar sudah pasti unggul. Namun kita perlu mengingat lagi, bahwa pengembangan bakat anak bersifat pribadi. Ada cara yang bekerja pada semua anak, namun setiap anak pasti punya seninya sendiri dalam belajar.
Keempat, konsekuensi dari personalized learning adalah lahirnya kesempatan bagi anak untuk kian memaknai proses belajarnya. Belajar tak lagi sebatas meraih nilai tertentu, namun menghadirkan makna tersendiri bagi anak, apapun hasilnya. Apa artinya? Saat anak kita berlatih bersama teman-temannya di sebuah klub bakat, ia bisa memiliki punya rencananya sendiri terkait fokus belajar pilihannya, bahkan termasuk mengganti fokus belajar, saat anak memang merasa tidak yakin.
Apa keunikan anak Anda dalam mengembangkan bakatnya?
Foto oleh Gabriel Delgado