Anak Suka Berekspresi? Yuk Belajar Dari Perjalanan Karier Charlie Chaplin
Bakat Anak – Karier Charlie Chaplin sebagai aktor berawal dari kesempatan belajar yang disediakan orangtuanya.
Kita mengenal Charlie Chaplin sebagai aktor, pembuat film, dan tentu saja, pantomimnya yang sangat berkesan. Namun bagaimana ia menemukan bakat dan menjadikannya sebagai arah karier utamanya? Ternyata semua tak lepas dari keterlibatan kedua orangtuanya dalam memberikan kesempatan belajar. Nah, kalau anak Anda suka berekspresi, tak ada salahnya belajar dari perjalanan karier Charlie Chaplin berikut ini!
Menyadari bakat Charlie kecil
Kedua orangtua Charlie Chaplin memang sudah bermain di atas panggung, namun perjalanan menemukan bakat sang anak tak semudah itu. Sang ayah, Charles, meninggalkan keluarga tersebut sebentar setelah Charlie lahir, sehingga sang ibulah yang bertanggung jawab membesarkan sang anak. Charlie Chaplin pun menghabiskan masa kecilnya sebagai buruh, terutama setelah Hannah, sang ibu, masuk rumah sakit jiwa.
Namun di antara tahun-tahun yang singkat tersebut, Hannah memberikan kesempatan belajar yang luar biasa kepada Charlie kecil. Selain sering mengajak Charlie menonton pementasan dalam usia belianya, sang ibu juga sering menghibur Charlie kecil dengan duduk di dekat jendela rumah dan menirukan mimik dan gerakan orang-orang yang terlihat lalu-lalang. Charlie Chaplin belajar berekspresi, serta lebih dalam lagi, mengamati dan mempelajari manusia, dari ibunya.
Keterlibatan Charlie kecil di atas panggung terjadi saat ia yang saat itu berusia 5 tahun harus menggantikan sang ibu yang mendadak kurang sehat. Di usia 9 tahun, dengan dukungan sang ibu bahwa ia memiliki bakat, Chaplin memantapkan dirinya untuk belajar berakting. Sang ayah – yang meskipun hampir tak pernah berjumpa dengannya – mewujudkan kesempatan Charlie dengan melibatkannya dalam debut profesional pertamanya, dalam grup The Eight Lancashire Lads. Hal inilah yang kemudian mengawali karier Charlie Chaplin.
Film bisu dan idealisme berkarier
Yang menarik dari perjalanan karier Charlie Chaplin adalah ia hidup di dua zaman industri film yang berbeda: zaman film bisu dan zaman film bersuara. Kita semua tahu penokohan utama Charlie, yakni The Tramp: sepatu besar, celana ketat, topi kecil, dan kumis “Hitler”nya (tentu saja kumisnya lebih dulu tenar ketimbang kumis Hitler). Tokoh The Tramp menjadi jalan karier Charlie Chaplin, dimulai dari film keduanya yang mendapatkan apresiasi dari penikmat film Amerika Serikat.
Kala teknologi semakin maju dan Hollywood memperkenalkan film bersuara (dengan dialog), Charlie bersikeras untuk tetap memproduksi film bisu, seperti “City Lights” dan “Modern Times”. Film-film bisunya sukses, namun sepanjang pembuatan film Charlie Chaplin memiliki kecemasan tersendiri – terutama apakah film bisu akan segera termakan zaman.
Pada akhirnya Charlie Chaplin pun membuat film bersuaranya sendiri, terutama menggunakannya untuk menyampaikan kritik sosial, yang telah menjadi ciri khas dari arah karier Charlie Chaplin. “The Great Dictator” menjadi film pertama yang menuai kritik karena dalam film tersebut Charlie menyuarakan sikap anti-kapitalismenya. Sang kritikus, Charles J. Maland, bahkan yakin bahwa cara Charlie Chaplin yang demikian akan menurunkan popularitasnya. Tak urung membuat film serupa, Charlie Chaplin harus menanggung akibatnya dengan dideportasi dari Amerika Serikat.
Menyediakan kesempatan belajar yang memadai bagi anak
Darah berakting Charlie Chaplin mungkin memang mengalir dari kedua orangtuanya, namun tanpa dibarengi kesempatan belajar, Charlie kecil tak akan pernah menyadari bakatnya. Peran Hannah, sang ibu, begitu besar, terutama dengan memperlihatkan ‘dunia di atas panggung’ dan menunjukkan kegembiraan berekspresi kepada sang anak. Sang ayah membuka jalan bagi awal karier Charlie Chaplin.
Seringkali kita ingin anak unggul dan berprestasi di berbagai bidang – baik pengembangan bakat maupun kegiatan akademik di sekolah – namun jarang menunjukkan kegembiraan apa yang bisa didapat anak dengan menekuni bidang tersebut. Anak lebih sering dihadapkan pada berbagai tekanan belajar, bukannya kesempatan belajar yang memadai, yang menyenangkan buat anak.
Saat anak kemudian tidak berkembang, kita justru menyalahkan mereka. Padahal sebagai orangtua, kita sendiri enggan membantu anak mencari cara menikmati kegiatan belajarnya, tidak seperti ibu Charlie Chaplin. Anak perlu kesempatan belajar yang memadai, yang menyenangkan, bukan menekan bagi mereka. Kita tak perlu lagi memberikan iming-iming hadiah atau ancaman hukuman agar anak belajar. Sebab anak sudah tahu kesenangannya di mana, sehingga belajar menjadi kegiatan yang positif buat anak.
Ternyata kuncinya ada pada kesempatan belajar yang memadai, yang menyenangkan buat anak. Kapan Ayah Ibu mulai mengubah tekanan belajar menjadi kesenangan belajar bagi anak?
Ingin merintis karier anak Anda? Nantikan buku “Karier Bukan Tanda Titik”, ya!
Tulisan diolah dari riset pada laman ini dan ini
Foto dicuplik dari sini