Bertanya, Bekal menjadi Wartawan sekelas Bondan Winarno
Bakat Anak – Mengapa kemampuan bertanya dengan tepat sangat penting dimiliki anak?
Ayah Ibu mungkin seringkali jengkel saat menonton televisi dan menemukan wartawan yang kurang tepat mengajukan pertanyaan. Ini seringkali terjadi pada suasana berduka, sedangkan para wartawan ini tetap saja melontarkan pertanyaan yang retoris, “Bagaimana perasaan Anda?” Tentu saja pertanyaan yang demikian akan menyinggung perasaan narasumber, karena seakan wartawan tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi.
Jenis wartawan yang saya ceritakan di atas tentunya belajar sampai bangku perguruan tinggi. Sayangnya, kenyataan di lapangan sungguhlah berbeda. Banyak pertanyaan – apalagi yang kita saksikan secara live – seringkali mengusik hati pemirsa. Dengan kondisi narasumber yang tengah dirundung duka, mereka harus disodori berbagai pertanyaan yang kurang berempati. Pertanyaan-pertanyaan tersebut justru tidak menggali banyak informasi, selain isak tangis, atau bahkan kemarahan.
Dibutuhkan pertanyaan yang tepat sebagai petunjuk jawaban yang tepat. Sebuah ungkapan bahkan menyebutkan, “Pertanyaan adalah setengah dari jawaban.” Sayangnya, seperti ulasan Anak Bertanya yang telah saya bahas, persekolahan justru tidak menumbuhkan dan melatih kemampuan bertanya anak.
Bukannya anak penuh rasa ingin tahu? Pada awalnya iya, namun seringkali rasa takjub tersebut redup karena saat bersekolah, anak lebih dituntut untuk bisa menjawab dengan tepat. Bertanya dan memahami pertanyaan itu tidak penting; yang penting saya bisa mendapatkan jawaban dengan tepat. Beberapa bimbingan belajar populer karena menyediakan rumus cepat untuk menjawab pertanyaan. Namun sedikit dari para siswa bertanya-tanya bagaimana rumus tersebut lahir – yang penting rumus A digunakan untuk menjawab pertanyaan B, dan seterusnya. Ujian Nasional pun jadi lebih gampang.
Redupnya rasa ingin tahu juga dibuktikan dengan sepinya pertanyaan di berbagai sesi diskusi atau ceramah, apalagi kalau tanpa iming-iming doorprize. Seakan, tidak ada yang mengusik rasa penasaran anak untuk bertanya “Mengapa? Bagaimana itu bisa terjadi? Kok bukan begini solusinya?” Tidak biasa bertanya, saat beranjak dewasa anak pun kesulitan mengajukan pertanyaan yang tepat. Padahal kemampuan bertanya yang tepat, secara praktis digunakan saat semester-semester akhir kuliah.
Kalau Ayah Ibu mengenal Bondan Winarno sebagai praktisi kuliner, sebelumnya ia menekuni hari-harinya sebagai seorang wartawan, termasuk wartawan investigasi. Media nasional seperti Kompas, Jakarta Post, Swa, Bisnis Indonesia, pula media internasional seperti Asian Wall Street Journal dan Far Eastern Eastern Economic Review, pernah disambanginya. Pengalaman puncaknya sebagai seorang wartawan adalah saat menjadi wartawan investigatif dalam mengusut kasus Bre-X dan tambang di hutan Busang, Kalimantan. Hasilnya dituangkan dalam buku berjudul “Bre-X, Sebungkah Emas di Kaki Pelangi”.
Kak Aiodongeng dan 4 Kekuatan Bercerita yang Harus Anda Ketahui
Belajar Pemrograman dari Kecil? Inilah Manfaatnya
Belajar Merumuskan Arah Karier dari Isyana Sarasvati
Apa yang dikerjakan Bondan Winarno saat itu sebagai wartawan investigatif? Ia melanglang buana, dari Kalimantan ke Filipina sampai Kanada untuk menggali berbagai informasi terkait kasus yang diusutnya. Tentu saja, semua yang ia kerjakan tak lepas dari kemampuan bertanya secara tepat, yang menjadi bekal utamanya saat itu – baik saat melakukan wawancara, melakukan riset, sampai membangun hipotesisnya sendiri terkait Bre-X. Satu hal yang tak Bondan Winarno lupakan adalah sikap santun dalam bertanya. Ia mengungkapkan, “Sikap santun itu penting. Ini sikap yang penting dalam investigasi.”
Menjadi wartawan – atau profesi apapun – tak lepas dari kemampuan bertanya dengan tepat, yang menjadi bekal penting bagi anak untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Berangkat dari rasa ingin tahu, anak dapat menemukan apa saja – rumus matematika baru, lagu baru, resep makanan baru, hingga inovasi baru.
Bagaimana Ayah Ibu menumbuhkan kegemaran bertanya dalam diri anak?
Foto dicuplik dari sini