Cara Belajar Sekolah Favorit Ternyata Menimbulkan Dampak Negatif (Hasil Riset)
Kebanyakan sekolah favorit menerapkan belajar dengan mengerjakan latihan soal. Hasilnya, nilai murid sekolah di atas rata-rata. Namun, rupanya ada dampak negatifnya. Apa itu?
Cara belajar mana yang lebih efektif adalah pertanyaan yang menarik didiskusikan, bukan hanya di Indonesia tapi juga di dunia. Efektif berarti tepat untuk mencapai tujuan belajar, yang seringkali diartikan sebagai pencapaian nilai ujian setinggi-tingginya.
Bayangkan ada sejumlah murid yang dibagi menjadi dua kelompok: Kelompok A dan Kelompok B. Kelompok A belajar dengan cara mendengar ceramah dan mengerjakan latihan soal ujian (drill). Kelompok B belajar dengan cara berdiskusi, menggubah lirik lagu dan bermain drama. Meski beda cara, kedua kelompok mempelajari topik pelajaran yang sama. Setelah belajar sekian waktu, kedua kelompok diminta mengerjakan ujian yang sama.
Apakah Kelompok A atau Kelompok B yang mendapat nilai ujian lebih tinggi? Apakah cara belajar A atau B yang lebih efektif?
Saya tebak kebanyakan dari Anda menjawab A lebih efektif dibandingkan B. Kalau pun tebakan saya benar, bukan berarti saya berbakat menjadi peramal. Saya menebak kebanyakan Anda menilai cara belajar A karena mayoritas orang di dunia akan menebak hal yang sama. Itulah yang membuat dunia kaget ketika pada tahun 2003, hasil pemetaan pendidikan global PISA menempatkan Finlandia di peringkat 1 untuk sains dan membaca, dan peringkat 2 untuk matematika. Capaian Finlandia ini menjungkirbalikkan pandangan umum. Cara belajar B yang diterapkan Finlandia justru menunjukkan keunggulan, bukan cara belajar A yang diyakini lebih efektif.
Ada dua respon yang berbeda dalam menyikapi fenomena Finlandia: (1) belajar dari Finlandia tentang cara belajar B; (2) memperbaiki cara belajar A seperti perbaikan kualitas soal ujian yang dikenal sebagai soal high order thinking skills. Indonesia memilih yang mana? Seperti biasa, memilih kedua respon tersebut meskipun keduanya berbeda arah.
Di Indonesia sendiri keyakinan terhadap cara belajar A mengakar kuat. Meski banyak usaha termasuk penggantian kurikulum, tetap saja cara belajar A yang dipraktikkan di banyak sekolah di Indonesia. Terlebih lagi cara belajar A digunakan kebanyakan sekolah favorit. Guru masuk kelas, memberi penjelasan sesuai buku teks dan meminta murid mengerjakan latihan soal ujian. Jawaban murid dinilai berdasarkan kesesuaian dengan isi buku teks. Dan terbukti, murid-murid sekolah favorit mencapai nilai UN di atas rata-rata dan diterima di sekolah favorit pada jenjang pendidikan selanjutnya.
Pertanyaan yang penting diajukan apakah capaian murid sekolah favorit berkat cara belajar A atau faktor lain semisal kualitas murid yang memang lebih baik? Apakah cara belajar B memang lebih buruk dibandingkan A dalam mencapai nilai ujian? Mari kita simak hasil risetnya
Penting bagi kita melihat hasil riset karena akan membantu kita melihat dampak cara belajar secara jangka panjang dan lebih utuh. Karena bila berdasarkan pengamatan pribadi, kita seringkali mudah puas dengan capaian jangka pendek dan melihat hanya satu sisi semata-mata, dalam hal ini sebatas nilai ujian.
Ada banyak riset pendidikan, namun sedikit riset pendidikan yang bersifat longitudinal, riset yang memperhatikan perubahan subyek riset dalam rentang waktu tertentu. Riset yang dilakukan Lawrence J.Schweinhart dan kawan-kawan merupakan salah satu riset longitudinal yang mengkaji dampak perbedaan cara belajar. Pada tahun 1962, mereka mengirimkan sekelompok anak-anak dari keluarga miskin Afro-Amerika ke 3 jenis kelas yang berbeda: Instruksi langsung (cara belajar A), bermain bebas, dan konstruktivis (cara belajar B). Perkembangan anak-anak dipantau sejak usia 3 – 4 hingga 11 tahun dan dilakukan pengambilan data kembali pada saat mereka telah berusia 15 dan 23 tahun. Apa kesimpulannya?
Pertama, capaian akademis anak-anak kelas instruksi langsung (menanamkan) pada awalnya lebih tinggi tetapi setelah itu menjadi sama dan tidak bisa dibedakan dengan anak-anak dari dua kelas lainnya. Kedua, pada usia 15 tahun, anak-anak dari kelas instruksi langsung terlibat tindakan melanggar aturan dua kali lebih banyak, kurang dari setengahnya yang suka membaca, dan menunjukkan tanda-tanda masalah sosial-psikologis dibandingkan anak-anak dari kelas bermain bebas dan konstruktivis (menumbuhkan). Sumber: Lawrence J. Schweinhart.
Apakah hanya satu riset? Ada banyak, saya akan rangkum kesimpulan sejumlah riset yang dikutip Alfie Kohn dalam bukunya The Schools Our Children Deserve. Riset-riset menunjukkan bahwa prestasi akademik murid yang belajar dengan cara B sama baiknya, atau bahkan lebih baik, dibandingkan murid yang belajar dengan cara A. Namun bila pengukuran dilakukan pada aspek-aspek yang lain, maka cara A menunjukkan sejumlah dampak negatif, yaitu:
- Minat belajar lebih rendah. Murid-murid yang dibiasakan dengan cara belajar A cenderung mempunyai minat belajar lebih rendah, termasuk dalam membaca dan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Mereka lebih terfokus pada hasil belajar dibandingkan aktivitas belajarnya.
- Kualitas belajar lebih rendah. Fokus pada hasil belajar membuat murid-murid dengan cara belajar A belajar belajar mendalam terkait dengan topik pelajarannya. Mereka cenderung puas dan menghentikan usaha ketika sudah mengetahui satu jawaban benar. Sama baiknya dalam menghafal, namun mereka lebih buruk dalam mempelajari hal-hal konseptual (high order thinking skills)
- Menghindar dari tantangan sulit. Cara belajar A yang terfokus pada penilaian ujian membuat anak-anak cenderung menghindar tantangan yang sulit. Ketika diminta menetapkan sendiri tantangan belajarnya, mereka memilih lebih rendah dibandingkan anak yang menggunakan cara belajar B.
- Keterampilan sosial kurang berkembang. Anak-anak yang menggunakan cara belajar A kurang berkembang keterampilan sosialnya. Lebih tergantung pada orang dewasa dan kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan baru atau berbeda.
- Persoalan psikologi – emosional. Cara belajar A membuat anak-anak lebih mudah cemas terhadap sekolah, kurang mengelola emosi dan pada akhirnya menghasilkan perilaku bermasalah.
Hasil riset tersebut dengan telak membantah pandangan umum bahwa cara belajar A lebih efektif dibandingkan cara belajar B. Buktinya, cara belajar B bisa sama baiknya dengan cara belajar A dalam capaian prestasi akademik. Bonusnya, cara belajar B memberi stimulasi dan kesempatan lebih kaya bagi anak-anak untuk tumbuh berkembang sebagai pribadi yang mandiri dan bahagia. Sementara cara belajar A dalam jangka panjang justru berdampak negatif terhadap anak-anak.
Dalam buku Memilih Sekolah untuk Anak Zaman Now, cara belajar A disebut sebagai menanamkan, sementara cara belajar B disebut menumbuhkan. Buku ini menyediakan panduan praktis bagi orangtua untuk memilih sekolah dengan cara belajar menumbuhkan. Dapatkan segera di MemilihSekolah.com.
Apakah Anda pernah merasakan dampak negatif cara belajar di sekolah favorit?
Sumber foto: Flickr
sebenernya kalau lihat skor pisa, finland ga selalu top kok. negara-negara asia yang menerapkan drill (cara belajar A) yang kuat masih lebih sukses secara konstan. tentu saja indonesia tidak termasuk, karena cara cara belajarnya tidak kuat dan efektif.
tapi kalau kita berniat punya generasi yang mentalnya sehat, pendidikan cara belajar B sangat cocok. tantangannya tentu saja adalah jumlah penduduk yang banyak dan beragam. lebih mudah menggiring mereka untuk bersaing daripada memersatukan mereka dalam kolaborasi