Andai Anak Saya Sehebat Joey Alexander, Apakah Saya Siap Menjadi Orangtuanya?
Siapa sih orangtua yang tidak ingin anaknya sehebat Joey Alexander? Tapi adakah orangtua yang bertanya, apakah saya siap jadi orangtua dari anak hebat?
Joey Alexander mengejutkan dunia musik melalui permainan piano jazz yang mempesona. Setelah diundang tampil di berbagai pentas musik dunia, ia menghasilkan album perdana My Favorite Things. Album yang membuatnya dinominasikan untuk dua kategori di Grammy Award yaitu Best Instrumental Jazz Album dan Best Jazz Solo Improvisation. Penampilannya di pembukaan acara tersebut mendapat apresiasi (standing applaus), bukan saja oleh orang biasa seperti saya, tapi oleh musisi dunia yang hadir pada saat itu.
Siapa sih orangtua yang tidak ingin anaknya jadi anak hebat seperti Joey? Sedikit banyak keinginan semacam itu pernah terbersit di hati orangtua ketika menyaksikan kehebatan anak lain termasuk kehebatan Joey Alexander. Seolah ketika mempunyai mobil sederhana, kita melihat mobil yang lebih wah dan kemudian muncul rasa ingin memilikinya.
Saya pun pernah terbersit keinginan Ayunda Damai, yang juga gemar bermain piano, bisa sehebat Joey Alexander. Tapi saya buru-buru menghapus keinginan tersebut dengan dua alasan. Pertama, anak bukan kertas kosong, setiap anak itu unik. Setiap anak telah dianugerahi dengan kemauan dan cara belajar yang khas yang menjadi bekal dalam proses tumbuh kembang yang tidak bisa dibandingkan dengan anak lain.
Kedua, saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya sanggup menjadi orangtua dari anak hebat? Saya mungkin penulis buku pengembangan bakat anak, Anak Bukan Kertas Kosong. Saya mungkin dinilai masyarakat sebagai ahli pengembangan bakat anak. Tapi menjadi ahli, berbeda sekali dengan menjadi orangtua dari anak hebat. Kenyataannya, saya tidak sehebat orangtua Joey Alexander yang mendedikasikan hidup mereka untuk anaknya.
Dan pada titik ini, saya berhenti merasa iri, berhenti mempunyai keinginan membadingkan anak. Setelah mengehentikan keinginan yang tidak masuk akal itu, saya justru merasakan keinginan baru yang lebih segar, keinginan belajar dari orangtua Joey Alexander dalam mendidik anaknya. Karena Joey Alexander bukan hanya mencatatkan diri sebagai musisi kelas dunia, tapi juga menunjukkan diri sebagai ahli yang dilahirkan oleh orangtua dengan pendidikan menumbuhkan, bukan orangtua dengan gaya pengasuhan Tiger Parent.
Apa yang saya pelajari dari cara orangtua mendidik Joey Alexander?
Pertama, menjadikan anak sebagai prioritas, bukan mementingkan obsesi orangtua
“Joey lebih suka belajar sendiri. Pernah beberapa kali mengundang guru les, tapi tidak pernah lama. Paling lama delapan bulan,” kata ibunda Joey, Fara Urbach. (Detik.com)
“Kami mengalir saja. Tak pernah berharap apa pun,” kata orang tua Joey, Denny Sila dan Fara, dalam sebuah wawancara. (CNNIndonesia.com)
“Saya tahu perjuangan dia sejak dari Bali hingga pindah ke Jakarta sampai akhirnya pindah ke Amerika. Saya juga tahu apa yang dikorbankan oleh orang tuanya, sampai meninggalkan pekerjaannya untuk Joey,” Dira Sugandi. (Bintang.com)
Apa yang anda bayangkan 10 tahun yang akan datang? Apakah jawaban anda hanya berkaitan dengan kehidupan dan karir anda? Atau justru karir anak anda?
Menjadi orang tua Joey itu penuh tantangan. Orang tua yang mengesampingkan ego pribadi agar bisa mendahulukan kebutuhan dan kepentingan anak. Ketika menentukan cara belajar, sang orang tua tidak mengacu pada kemampuan dan keinginannya, tapi kebutuhan dan kenyamanan Joey. Tidak heran bila Joey sering ganti guru les dan bahkan pada akhirnya belajar sendiri. Usaha menemukan cara belajar terbaik bagi anak membutuhkan kebesaran hati orang tua.
Ketika Joey mendapat sambutan dan tawaran dari tokoh musik dunia, sang orang tua tidak menjadikan pekerjaan dan bisnisnya sebagai pertimbangan. Justru kebutuhan dan kepentingan Joey yang menjadi prioritas meskipun konsekuensinya pekerjaan dan bisnis orangtua harus dikorbankan. Ketika Joey mendapat nominasi di Grammy Award, sikap orangtuanya pun santai, “Kami mengalir saja. Tak pernah berharap apa pun”.
Kedua, menumbuhkan rasa ingin tahu, bukan mendikte anak.
“Semuanya datang dari orang tua saya. Sebenarnya ayah saya bisa sedikit bermain piano dan gitar. Saya mencintai suara piano dan itu yang membuat saya berminat. Seperti layaknya orkestra, ada 80 kunci dan ada suara bass-nya. Ini adalah alat musik yang lengkap dan itu menarik minat saya,” Joey Alexander. (BBC.com)
Pengalaman Joey dalam menapaki dunia musik dimulai dari usia dini. Saat Joey berumur enam tahun, ayahnya yang juga hobi musik membelikan sebuah keyboard kecil. Sang ayah memainkan alat musik itu di depan Joey untuk mengetahui minat anaknya terhadap musik. Rupanya Joey kecil amat tertarik. (Detik.com)
Seringkali orang tua mengenal bakat anak melalui tes baik tertulis maupun tes sidik jari. Setelah mendapatkan hasilnya, orangtua kemudian memutuskan “yang terbaik” buat anaknya. Meski terkesan keputusan “terbaik”, tapi seringkali orangtua justru terjebak mendikte anak. Padahal, sebagaimana saya tulis di buku Anak Bukan Kertas Kosong, orangtua telah dibekali kemampuan mengenali bakat anak melalui pengamatan dan interaksi dengan anak.
Joey bermain piano bukan karena kemauan atau perintah orangtua. Sebagaimana saya pernah bahas di “Inilah Alat untuk Menemukan Kecerdasan Majemuk Anak”, orang tua mengenalkan keyboard kecil dan memainkannya di depan Joey. Apa pentingnya aktivitas tersebut? Aktivitas tersebut menumbuhkan minat anak. Bila berminat terhadap suatu aktivitas, anak akan mencoba dan merasakan keasyikannya. Dari keasyikan itu, orangtua bisa mengenali 4 perilaku seru yang menjadi ciri bakat anak. Ada proses dialog antara orangtua dan anak dalam menemukan potensi sang anak.
Ketiga, menghargai proses dan usaha anak, bukan hasil akhir.
“Anda harus benar-benar bekerja keras dan harus senang melakukannya. Itulah yang paling penting,” Joey Alexander. (Kompas.com)
“Saya ingin mengembangkan (permainan) dengan berlatih dan bermain, dan menantang diri untuk menjadi lebih baik setiap hari’, Joey Alexander. (Kompas.com)
“But i just want to play and winning isn’t my goal. I came to the Grammys to play. Didn’t expect to win. It’s all about the music. The opportunity to play for both shows was a huge blessing”, Joey Alexander. (Komentarnya di Facebook Joey Alexander)
Dengan menghargai proses, orangtua membuat anak merasa nyaman dengan dirinya. Kenyamanan yang membuat anak tidak mudah khawatir terhadap penilaian orang lain. Kenyamanan yang membuatnya percaya diri mengekspresikan diri dan mengatasi berbagai tantangan belajar yang lebih sulit. Hal ini mematahkan salah kaprah pandangan pendidikan menanamkan bahwa menghargai anak hanya akan membuat anak jadi manja. Apresiasi dan upaya menghargai usaha anak justru membuat anak lebih berani mencoba tantangan yang lebih menantang.
Orang tua Joey pun tidak berambisi anaknya menjadi juara. Bahkan bisa dibilang, catatan prestasi Joey bukanlah hasil dari perlombaan, tapi hasil dari berkarya. Serius dalam menggarap karya, tapi santai dalam menghadapi lomba. Tidak berkarya jadi perkara, tapi tidak menang tidak mengapa. Berbeda jauh dengan fenomena yang kita lihat sehari-hari, orang tua, guru dan sekolah begitu serius hanya ketika menghadapi lomba. Tidak ada lomba, tidak berkarya. Semua kegiatan anak sifatnya perlombaan yang melatih anak jadi ahli curiga, tapi lemah dalam bekerjasama.
Lebih jauh lagi, menghargai usaha anak justru bisa melahirkan kegemaran belajar yang tumbuh dari dalam diri anak. Belajar piano bukan hanya saat akan pentas atau mengikuti lomba. Belajar latihan piano bukan sebagai latihan yang dijadwalkan orang dewasa yang dipaksakan pada anak. Belajar piano karena kemauan sang anak sendiri. Kenapa? Karena anak merasa nikmatnya belajar, nikmatnya bermain piano.
Keempat, membiarkan anak menikmati masa kini, sekaligus mendampinginya ke masa depan.
“Saya hanyalah seorang anak yang mempunyai aktivitas dan hobi sama seperti anak-anak pada umumnya. Saya suka mainan seperti Action figures super heroes dan juga suka nonton film. Seperti baru-baru ini saya nonton film Kungfu Panda di mana alur ceritanya menarik dan juga banyak actionnya.” Joey Alexander. (VOAIndonesia.com)
“Saya masih suka bermain dengan mainan saya, saya bermain tenis dan berenang. Saya masih berusia 12 tahun dan saya masih Joey. Saya selalu ingin bermain musik ini, yaitu jazz. Saya ingin bermain bersama banyak musisi, saya ingin mengomposisi musik lebih banyak lagi, mengaransemen musik, dan pergi tur keliling dunia dengan musik saya,” Joey Alexander. (BBC.com)
Tantangan bagi anak yang mengorbit atau populer di usia muda adalah tercerabut dari masa kanak-kanak. Tuntutan akibat popularitas seringkali menyibukkan anak dan orangtua sehingga melupakan tugas perkembangan masa anak-anak. Namun bila membaca pernyataan di atas, sang orang tua tetap membiarkan Joey menikmati masa anak-anaknya. Karena bermain, meski sering diremehkan banyak orang, mempunyai fungsi penting dalam menjaga keseimbangan dan kesehatan jiwa.
Meski “membiarkan” Joey menikmati masa anak-anaknya, bukan berarti orang tua mengabaikan kebutuhan belajar untuk masa depannya. Membiarkan anak bermain bukan berarti memanjakan anak, karena membiarkan anak bermain berdasarkan kebutuhan anak. Bila kebutuhan anak yang menjadi acuan, maka tidak heran bila orangtua Joey bukan hanya memenuhi kebutuhan masa kini, tapi juga memenuhi kebutuhan masa depan anaknya. Orangtua membantu Joey mengenali berbagai kesempatan belajar, mendukung Joey memanfaatkan kesempatan itu dan mendampingi langkah kaki anaknya untuk mewujudkan cita-cita di masa depan.
Begitulah pelajaran yang saya dapatkan dari bagaimana sang orang tua mendidik Joey Alexander. Bagi saya, kisah tersebut adalah cermin, cermin untuk menilai diri saya sebagai orang tua, sebagai pendidik buat anak saya. Pelajaran ini juga semakin memperkuat keyakinan saya terhadap Pendidikan Menumbuhkan berdasar ajaran Ki Hajar Dewantara sebagaimana saya tulis dalam Anak Bukan Kertas Kosong dan Bakat Bukan Takdir yang akan terbit pada pertengahan Maret 2016.
Tak usah risau. Buang jauh-jauh keinginan agar anak kita seperti Joey Alexander. Karena setiap anak unik. Karena yang penting bukan apakah anak kita akan jadi anak hebat, tapi apakah kita bisa menjadi orangtua yang sanggup mendidik anak hebat. Karena itu, mari terus dan terus belajar untuk menjadi pendidik paling keren buat anak kita.
Ingin mengembangkan bakat anak? Segera dapatkan buku Bakat Bukan Takdir di Toko.TemanTakita.com atau di toko buku terdekat
Apa pelajaran mengenai pendidikan anak yang anda dapatkan dari kisah Joey Alexander? Tuliskan di kolom komentar ya
Bagusssss sekali artikel ini!
Ya sangat setuju dgn article diatas. Kita yg hrs bercermin dan mengakomodasi anak
“Apresiasi dan upaya menghargai usaha anak justru membuat anak lebih berani mencoba tantangan yang lebih menantang”
Tawakal.., manusia berusaha dengan menyertakan Tuhan, dan hasil akhir nya – sukses inshaAllah mengiringi – salam salute ♥
Yep! setiap anak beda2 dan memang ortu harus siap apa pun keadaannya. Sangat menonjol misalnya, atau justru tampak sangat “kurang”–mungkin kita harus berhenti membandingkan, kita harus sedia belajar bersama anak. Tentunya itu memang susah dipraktikkan ketimbang dilakukan. Tapi setidaknya tahu adalah satu langkah lebih maju, ya kan Mas Bukik? 😀
Iya bu/pak ..kami juga sedang mendidik anak anak kami yg masih SD agar berprestasi di bidang matematika, kalau ini memang membutuhkan media lomba atau kompetisi untuk mengasah kemampuannya.. Kadang2 memang menyenangkan melihat mereka antusias mengikuti lomba-lomba tersebut, namun lebih banyak capek dan makan hatinya terutama waktu mereka tidak mood atau perubahan sikap menjadi agak tempramental pada waktu belajar untuk menghadapi lomba. Akhirnya sepertihalnya di artikel di atas kami mendidiknya usahakan dgn porsi yg disesuaikan dgn suasana hati si Anak, Yang terpenting si Anak masih mau belajar dengan teratur dan untuk ini memang diperlukan kesabaran dan keuletan orang tua. Perihal hasil dan prestasi lomba bukan segala-galanya bagi kami karena seperti artikel di atas yg penting adalah proses dan bagaimana menjalani proses tersebut.. Semoga artikel ini menginspirasi kita semua.. Amin
Apa ya harus mengikuti lomba untuk mengasah kemampuan matematika?