Maya Hirai dan Origami: Bukan Sekadar Seni Melipat Kertas
Bakat Anak – Apakah anak Ayah Ibu suka bermain origami?
Salah satu kegemaran saya di masa kecil adalah origami. Betul, seni melipat kertas ini dapat dengan mudah dilakukan mengingat kita hidup di zaman di mana kertas merupakan benda yang dengan mudah ditemukan dan didaur ulang. Boleh dikata, hampir setiap kali saya pergi ke toko buku di masa kecil, salah satu buku yang saya cari adalah buku origami. Belum ada YouTube saat itu, jadi buku ‘resep’ melipat kertaslah yang saya andalkan.
Origami sendiri berakar dari dua kata dalam bahasa Jepang, yakni ‘ori’ yang berarti melipat, dan ‘kami’ yang berarti kertas. Meskipun seni ini mulanya ditemukan di Cina, origami kemudian berkembang dan berakar kuat di Jepang, kemudian tersebar ke seluruh dunia. Saya yakin Ayah Ibu maupun anak pasti pernah membuat origami – bahkan di tingkat yang sederhana seperti membuat pesawat untuk diterbangkan, atau topi ulang tahun. Di zaman saya SD dulu, topeng karakter Jiban dari kertas adalah favorit anak laki-laki.
Melakoni kegemaran melipat kertas memiliki kesenangan dan tantangannya tersendiri. Tantangannya tentu saja adalah bagaimana anak dituntut untuk memahami langkah-langkah yang diberikan, lalu melipat dengan rapi dan simetris (atau tidak, tergantung bentuk yang diinginkan). Ada sikap disiplin dan kesempurnaan yang dilatih di sana – yang biasa melipat kertas pasti merasa tidak sreg saat lipatannya menceng alias tidak tepat pada garis bayang-bayang yang diinginkan. Beberapa bentuk lipatan membutuhkan latihan berulang-ulang karena lipatannya yang rumit, atau bahkan membutuhkan sedikit tenaga – menekan kertas yang tebal karena sudah memiliki banyak lipatan, misalnya.
Senangnya membuat origami adalah, selain bahan dan alatnya mudah didapat (beberapa model membutuhkan gunting, misalnya), salah satu hal yang paling saya suka dalam melipat kertas adalah saya bisa berimajinasi. Tanpa mengikuti petunjuk apapun misalnya, anak bisa bebas melipat sesuai keinginannya sendiri menjadi bentuk apapun – yang mungkin tidak diduga sebelumnya. Bagi orang lain hasil eksperimen anak mungkin terlihat abstrak, namun anak bisa membayangkan apapun dari hasil lipatannya – belalang, ikan, banteng, bunga, dan sebagainya.
Tetap Kreatif saat Liburan di Rumah: 4 Kegiatan Seni untuk Anak
Anak Suka Berekspresi? Yuk Belajar Dari Perjalanan Karier Charlie Chaplin
Gemar Mendesain Baju? Intip Kisah Grace Rose, Pengusaha sekaligus Desainer Baju Cilik
Ada banyak sekali manfaat origami: melatih motorik halus anak, mengajarkan konsep geometri dan pecahan – misalkan, berapa kali kita harus melipat sebuah bujur sangkar agar ukurannya berubah menjadi seperempatnya – dan bahkan, menurut hasil studi yang dilakukan oleh National Middle School Association, melipat kertas dapat meningkatkan persepsi tiga dimensi dan kemampuan anak untuk berpikir logis.
Fajar Ismayanti, yang lebih dikenal dengan nama panggung Maya Hirai, sudah lebih dari 10 tahun menggeluti origami. Saat berita Tempo terkait diterbitkan, Maya Hirai adalah satu-satunya orang Indonesia yang memegang sertifikat bergengsi Nippon Origami Association. Keren, kan?
Kariernya sebagai instruktur origami tak lepas dari berbagai kesempatan yang ditemuinya. Maya Hirai, ibu origami asal Bandung ini sendiri mengaku bahwa ia tidak memiliki latar belakang keluarga yang berkecimpung di dunia seni melipat kertas tersebut. Ia sempat berhenti kuliah di sebuah fakultas teknik berhubung sang suami harus dirawat di rumah sakit karena tifus. Saat sang suami kemudian melanjutkan studi pascasarjana di Jepang, Maya akhirnya bisa melanjutkan kuliah lagi, yang sayangnya terhenti sekali lagi karena mengikuti suami hijrah ke Negeri Matahari Terbit itu.
Suatu hari saat mengantar ketiga anaknya bersekolah dengan menggunakan sepeda, Maya Hirai melewati rumah Takako Hirai, instruktur origami yang pernah melatihnya dalam sebuah lokakarya melipat kertas. Takako Hirai kemudian mengajaknya menggeluti seni melipat kertas di sanggar miliknya – sampai Maya Hirai menjadi asisten pengajarnya. Pertengahan 2005, meskipun terkendala oleh penguasaan huruf kanji, sang ibu akhirnya berhasil mendapatkan sertifikat berkualifikasi setelah melalui 50 bentuk origami yang diujikan. Untuk menghormati sang guru, nama belakang Hirai kemudian dipilih Fajar.
Sepulangnya ke Indonesia, Maya Hirai segera saja menerima berbagai permintaan untuk berbagi ilmu melipat kertas – baik melalui dunia maya maupun lokakarya di berbagai tempat. Maya Hirai yang kemudian mendirikan sanggar origaminya sendiri di Bandung, juga mengeksplorasi bahan daur ulang sebagai pengganti kertas, seperti plastik dan aluminium foil. Berkarier sebagai instruktur origami membuatnya yakin bahwa seni yang satu ini dapat mengembangkan karakter disiplin, serta apresiasi terhadap keindahan.
Apa kegemaran anak Ayah Ibu yang dapat mengembangkan karakter disiplin dalam dirinya?
Foto oleh Steward Butterfield dan Maya Hirai