Mengapa Kesempatan Memilih Minat itu Berharga?
Bakat Anak – Berapa PR yang anak Ayah Ibu kerjakan setiap harinya?
Ayah Ibu mungkin mengalami masa di mana sekolah itu menyenangkan. Jam belajar yang tidak terlalu panjang, tidak banyak PR untuk dikerjakan, dan belum ada kegiatan bernama les sehingga waktu selepas sekolah bisa kita gunakan untuk bermain bersama tetangga. Saya ingat betul lirik lagu daerah “yo pra kanca dolanan ing njaba” yang mengajak anak-anak bermain bersama di luar rumah.
Namun agaknya kebiasaan itu tak lagi berlaku di generasi anak-anak kita saat ini.
Jam pelajaran tambahan. PR. Bimbel. Les mata pelajaran. Mengisi Lembar Kerja Siswa. Latihan soal menjelang Ujian Nasional. Hari-hari anak kita diisi dengan berbagai kegiatan akademik yang tak kunjung usai. Belum lagi ulangan harian yang datang silih berganti. Beberapa kelas unggulan yang saya temui membatasi keikutsertaan anak-anak didiknya di kegiatan ekstrakurikuler, agar mereka dapat fokus mencapai nilai yang terbaik.
Pertanyaannya kemudian sederhana, benarkah kegiatan belajar terkait sekolah yang anak kita lakukan adalah apa yang menjadi minatnya?
“Semua orang pasti tertarik pada suatu topik, dan hal tersebut bisa jadi bukan topik yang kita ingin mereka pelajari.” Ini adalah jawaban dari seorang guru IPS dan Bahasa Inggris bernama Larry Ferlazzo, yang mengajar di salah satu sekolah di Sacramento, California. Larry menghabiskan waktu meneliti bagaimana manusia belajar melalui murid-muridnya, dan melahirkan beberapa buku, yang terbaru berjudul Self-Driven Learning: Teaching Strategies for Student Motivation.
Alkisah, Larry pernah bergelut dengan seorang siswanya yang punya sejarah nilai akademik yang selalu rendah. Saat meminta kelas menulis esai mengenai bencana alam terdahsyat sepanjang sejarah, siswa tersebut menolak untuk mengerjakannya. Larry kemudian memberi tantangan yang berbeda padanya untuk menulis argumen mengenai mengapa Raiders layak menjadi tim futbol terbaik, sang siswa mengerjakannya.
Esainya mendapatkan umpan balik yang bagus, dan dengan bangga sang siswa menunjukkan esai tersebut pada ibunya. Untuk pertama kalinya ia merasa berhasil.
Apa yang dilakukan Larry Ferlazzo ditegaskan lagi olehnya, “Saat ini kebanyakan sekolah menekan siswa kita dengan tes terstandar dan banyak sekali tugas, sehingga mereka tak punya cukup waktu untuk mengembangkan kapasitas dirinya melalui topik yang mereka suka.” “Padahal, dengan memahami apa minat mereka, kita dapat membantu mereka belajar lebih banyak.” Ini mengingatkan saya pada kisah Ishaan yang belajar melalui menggambar, yang juga telah diulas dalam buku Anak Bukan Kertas Kosong.
Inilah Pengertian Bakat Anak yang Harus Dipahami Orangtua
Sudahkah Anak Merdeka untuk Belajar?
Sudahkah Anak Merdeka atas Paksaan Belajar?
Dengan memberi kesempatan anak belajar apa yang mereka suka, pembelajaran yang anak lakukan adalah hasil dorongan dari dalam dirinya sendiri, sebuah motivasi internal. Anak menjadi gemar belajar. Ia lebih mudah mengevaluasi perkembangan belajarnya sendiri, bahkan menentukan sendiri target belajar selanjutnya. Ini juga terjadi pada siswa Larry. Mulanya ia menolak membuat tugas menulis esai. Namun saat ia diberikan kesempatan menulis esai tentang apa yang ia suka, tak hanya menunjukkan kemampuan menulis yang bagus, ia bahkan meminta Larry agar dapat menulis esai-esai yang lain.
Namun tidak semua guru seperti Larry, dan mungkin anak Ayah Ibu tak menemukan guru yang demikian di sekolah mereka. Namun seperti pesan Ki Hajar Dewantara, keluarga adalah penanggung jawab utama pendidikan anak. Saat sekolah tak memfasilitasi pengembangan bakat anak melalui minat mereka, tugas kita sebagai orangtua adalah membantu anak mengenali topik yang mereka suka, dan memberi kesempatan anak untuk mengembangkan bakat sesuai minatnya.
Apa tips Ayah Ibu agar lebih mudah mengenali topik yang disukai oleh anak?
Foto oleh Feliciano Guimarães