Anak Gemar Bermain dengan Perkakas? Simak Kisah Kayu dan Radio Magno, Radio Kelas Dunia
Bakat Anak – Bagaimana Radio Magno menunjukkan proses berkarya yang bermakna bagi diri sendiri dan orang lain?
Apa yang harus kita lakukan agar kegiatan dan rutinitas sehari-hari lebih berarti, setidaknya buat diri sendiri? Pertanyaan ini seringkali menggeluti benak orang dewasa yang sudah bekerja, namun hidupnya terasa hampa. Kegelisahan tersebut ternyata bisa ditelusuri pada bagaimana bagaimana kegemaran yang kita tekuni, digunakan dalam setiap proses berkarya, termasuk saat bekerja. Kisah Radio Magno berikut menggambarkan bagaimana kegemaran mendesain tak lagi sekadar menjadi hobi atau profesi, melainkan bermakna bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitar.
Buat Ayah Ibu yang belum tahu, Radio Magno adalah produk asal Indonesia yang menjadi salah satu barang termewah edisi Majalah Time tahun 2008. Lho, darimana ceritanya sebuah radio bisa jadi benda keren di era digital? Siapa yang membuat dan di mana produk tersebut dibuat? Adalah Singgih Susilo Kartono, seorang pria yang bertanggung jawab di balik ide pembuatan radio kayu yang meroket ke berbagai penjuru dunia tersebut. Kalau Anda membayangkan bahwa radio ini diproduksi di Jakarta, tebakan Anda salah sama sekali karena kemewahan ini dilahirkan di sebuah desa di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Kisah ini sebenarnya sudah dituturkan sejak lama; saya sendiri mendengarnya tahun 2010 dari Bukik Setiawan dalam tajuk design thinking atau berpikir desain. Kita sudah menyimak gerakan Design for Change yang digalakkan Kiran Bir Sethi untuk membawa perubahan pada wajah pendidikan anak-anak, Radio Magno, di sisi lain, merupakan pengejawantahan berpikir desain di bidang industri kreatif, yang tidak dikerjakan di ibu kota, namun di sebuah sudut desa di Temanggung, Jawa Tengah. Bukik Setiawan saja, dalam salah satu penuturannya, sempat tersasar saat ingin mengunjungi kediaman sang desainer radio kayu yang mendunia ini.
Kegemaran mendesain, termasuk mendesain radio yang dilakukan oleh Singgih Susilo Kartono, tentu tak lepas dari proses berpikir desain. Kalau kita menelaahnya dengan proses FIDS yang dicetuskan dalam Design for Change, Ayah Ibu dapat melihat sendiri bagaimana kegiatan mendesain ini tak sekadar membuat sebuah reka cipta, namun reka cipta yang lahir dari rasa empati, yang bisa menggerakkan hati banyak orang.
Dimulai dengan feel atau ‘rasakan’, keprihatinan Singgih lahir saat melihat Indonesia yang kaya akan kayu, namun tidak ada barang dari kayu yang desainnya bagus dan dikenal dunia. Di sisi lain, ia yang sempat menjadi ‘anak kota’ saat kuliah merasakan sendiri betapa derasnya keinginan orang desa untuk meraih kesuksesan dengan mencoba peruntungan melalui hijrah ke kota. Ia berkeinginan agar warga desa bisa sukses tanpa perlu meninggalkan tempat kelahiran mereka, sehingga memutuskan untuk mengerjakan seluruh proses produksi Radio Magno di Desa Kandangan, Temanggung.
Berpikir desain membuat Singgih bergerak ke tahapan selanjutnya, yakni imagine atau ‘bayangkan’. Tidak seperti kebanyakan orang yang melihat kayu hanya dari nilai gunanya saja – sehingga hanya menjadi bahan sebuah produk – Singgih berpikir bahwa kayu pun bisa memiliki nilai estetika, yang membuatnya lebih berharga ketimbang menjadi gelondongan. Kalau saja ada produk kayu yang lahir dan menjadi tenar, masyarakat bisa menaruh hormat kepada hutan yang menghasilkannya, tak lagi membakar hutan demi kepentingan membuka lahan sawit semata, misalnya.
Anak Suka Berekspresi? Yuk Belajar Dari Perjalanan Karier Charlie Chaplin
Anak Anda Ingin jadi Penyanyi? Yuk Belajar Manfaat Bernyanyi dari Naura
5 Alasan Pentingnya Belajar Berwirausaha buat Anak Anda
Bayangan tersebut menjatuhkan pilihan Singgih pada benda yang hadir di setiap rumah atau kendaraan beroda empat: radio. Dalam tahapan do atau ‘lakukan’, sang desainer menggunakan topik yang sudah ditekuninya semenjak kuliah dan menjadi bahan skripsinya, yakni radio. Bagaimana radio bergerak dari sekadar teknologi hiburan, menjadi benda yang akrab, bahkan personal di tangan manusia?
Salah satu desain kunci dari Radio Magno adalah tidak adanya garis penanda frekuensi, yang berarti seseorang harus belajar memutar gelombang, merasakan dan menghapalkan sendiri di mana program radio kesayangannya hadir. Desain kayu yang tanpa bahan kimia membuat orang bisa merasakan tekstur permukaan radio, serta melakukan perawatan untuk menjaga sang radio. Bagi Singgih, radio ini kemudian menjadi sempurna karena ketidaksempurnaannya.
Tahap share atau ‘bagikan’ membuat Radio Magno tak hanya bermakna bagi sang desainer. Singgih sebenarnya bisa saja memilih agar produksinya dilakukan di kota yang lebih besar, namun ia memilih untuk membuat kamar kerja (workshop) pembuatan radio kayunya di sebuah desa yang namanya asing bagi kita. Ia ingin berbagi cita-cita sekaligus keuntungan finansial bagi para pengrajin di desanya, bahwa berkarya itu bisa dilakukan di mana saja, dan tak mengharuskan seseorang untuk meninggalkan desanya.
Seperti proses yang dialami oleh Singgih Susilo Kartono dalam mendesain Radio Magno, kegemaran apapun, termasuk mendesain, bisa menjadi bermakna saat anak maupun orang lain merasakan dampak dari proses anak menekuni dan mengembangkan bakatnya. Anak tak lagi belajar – dalam hal ini, mendesain – maupun berkarya buat dirinya sendiri, namun mulai berempati, yakni bagaimana proses pengembangan bakat dan hasil belajarnya bisa membuat diri sendiri dan sekelilingnya bahagia.
Kapan terakhir kali anak Anda bahagia saat berkarya?
Foto dicuplik dari sini