Sudahkah Anak Merdeka atas Paksaan Belajar? - Portal Bakat Anak

Sudahkah Anak Merdeka atas Paksaan Belajar?

Diposting oleh:

Bakat Anak – Karena belajar bukanlah menanamkan, melainkan menumbuhkan.

Merdeka! Kita baru saja merayakan ulang tahun ke-70 bangsa Indonesia, yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus. Berbagai ungkapan kebahagiaan kita wujudkan dalam rupa-rupa, misalnya lomba tujuh belasan dan tasyukuran. Pernak-pernih merah putih pun mewarnai lingkungan tempat tinggal kita selama seminggu terakhir. Apa kegiatan keluarga Anda dalam memperingati hari kemerdekaan Indonesia?

Merdeka memang menjadi kata yang tidak asing, pula kian terdengar setiap bulan Agustus. Anak Ayah Ibu mungkin juga sudah mendengar dan belajar tentang kata ini. Entah mengenalnya dari pelajaran di kelas, saat menonton televisi, atau bahkan dari cerita kakek-neneknya tentang zaman perjuangan di masa kemerdekaan. Secara kasat mata, saat mendengar kisah kemerdekaan bangsa kita, anak akan menangkapnya sebagai merdeka atas penjajahan bangsa lain.

bakat anak merdeka

Seorang psikolog sosial kondang, Erich Fromm, mengupas perihal merdeka dalam bukunya Escape from Freedom – atau jika Ayah Ibu pernah menemui edisi bahasa Indonesianya, Lari dari Kebebasan. Ada dua definisi kebebasan menurut Erich Fromm: pertama, bebas atas tekanan dari luar. Dalam konteks kemerdekaan, saya rasa jelas: seperti yang telah saya sebutkan, bangsa Indonesia akhirnya merdeka atas penjajahan Jepang di tahun 1945.

Namun, saat seseorang telah bebas atas tekanan dari luar, ia tidak bisa berhenti di situ saja. Definisi kebebasan yang kedua adalah bebas untuk belajar dan berkarya secara kreatif. Dengan kata lain, menjadi diri sendiri yang otentik. Tanpa melatih kebebasan kedua, yakni ‘bebas untuk’, manusia akan kembali jatuh dalam pengaruh dan tekanan dari luar. Itu artinya, seorang anak yang tidak belajar untuk melakukan sesuatu atas dorongan dari dalam dirinya sendiri, ujung-ujungnya bertindak karena motivasi eksternal semata.

Saat Erich Fromm yakin bahwa anak punya kemampuan dan potensi untuk mengarahkan dirinya sendiri, bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, memiliki pendapat yang sama. Jika Erich Fromm menggunakan istilah keotentikan, Ki Hajar Dewantara menyebutkan istilah kodrat, seperti yang pernah ditulisnya dalam bunga rampai Pendidikan. Anak lahir dengan kodratnya masing-masing, dan orang dewasa – termasuk kita sebagai orangtua mereka – tidak bisa mengubah kodrat tersebut.

ki-hajar-dewantara-merdeka

Hanya saja, orangtua seringkali tidak mempedulikan kodrat yang dimiliki anak. Kita lebih sering menuntut anak menjadi si ini dan si itu, menguasai pelajaran tertentu dan mengabaikan pelajaran lain (yang mungkin lebih sesuai dengan kodrat anak), bahkan berkarier di bidang yang bukan merupakan bakat anak. Anak tidak dididik untuk tumbuh sesuai kodratnya, menjadi dirinya sendiri. Apa akibatnya? Anak dipaksa belajar dan hanya belajar saat dipaksa, entah dengan iming-iming hadiah maupun ancaman hukuman. Mahasiswa lulusan S1 lebih melirik pekerjaan tertentu hanya karena gajinya lebih tinggi, mengabaikan minat dan kompetensi yang telah ditekuninya selama ini.

Bagaimana agar anak kita terhindar dari hal ini? Seperti apa yang telah dijelaskan Erich Fromm, anak perlu mengalami kedua kebebasan: anak harus bebas atas tekanan dari luar terlebih dahulu. Dalam proses belajar dan pengembangan bakat anak, ini berarti anak harus bebas dari paksaan orang dewasa – termasuk orangtuanya.

Seperti telaah Bukik Setiawan, anak bukan kertas kosong. Setiap anak dikaruniai kemampuan mengolah informasi yang unik oleh Tuhan, untuk belajar dan tumbuh sesuai kodratnya. Menyadari bahwa anak bukanlah kertas kosong menjadi langkah awal kita sebagai orangtua untuk memerdekakan anak dari harapan-harapan orang dewasa yang tidak sesuai dengan diri anak. Saat anak merdeka atas paksaan belajar, barulah ia berkesempatan belajar melakukan sesuatu – termasuk mengembangkan bakat – atas dorongan dari dirinya sendiri.

Sekali lagi, sudahkah anak merdeka atas paksaan belajar?

 

Foto oleh Rifat Attamimi


panduan memilih sekolah untuk anak zaman now

Leave a Reply

Buku Panduan Memilih Sekolah untuk Anak Zaman Now
rss
rss
rss
Mas Yana : Saya pikir masih sama konteksnya. jika jiwa kompetitif anak diarahkan kepada hal baik, seperti anjuran agama "
Zalllll, can u help me? : Dan lebih parahnya lagi, aku hampir mau bundir hehe gara tertekan capek disuruh ini itu sm ortu yg strict pare
Seorang anak Strict parents:)) sad : Ini penting bat si buat kamu, kyk survey ke sekolahnya langsung biar gk salah masuk sekolah...bahkan liat bang