Tahun Ajaran Baru, Mulai dengan Apresiasi Kekuatan Anak
Bakat Anak – Sudahkah anak siap memulai sekolah dan kelas barunya?
Mungkin memang pertanyaan klise, namun tak dapat disangkal, pertanyaan ini selalu mengganjal hati setiap orangtua. Seusai kenaikan kelas maupun kelulusan, anak mengalami jeda yang banyak disukai, yakni liburan. Dua sampai tiga pekan dihabiskan anak di rumah, atau bepergian bersama keluarga. Namun, saat tahun ajaran baru dimulai, seringkali para orangtua lebih khawatir ketimbang yang sekolah.
Selain urusan peralatan sekolah, buku, dan seragam, kekhawatiran orangtua biasanya berpijak pada hasil belajar anak semester lalu. Kalau sudah khawatir, kata yang paling sering dilontarkan orangtua pada anak jelang tahun ajaran baru adalah “jangan”. “Jangan banyak main, sudah kelas 3. Nanti kalau nggak lulus gimana?” “Jangan malas-malasan. Lihat nilai matematikamu kemarin, bikin malu.” Kalau kata “jangan” sudah keluar, biasanya diiringi dengan ancaman-ancaman yang bisa jadi justru membuat semangat belajar anak semakin ciut.
Memang, kita sebagai orangtua mungkin lebih sering fokus pada kekurangan atau kelemahan anak. Saat menerima rapor dari guru, kita justru melihat bagian-bagian dari hasil belajar anak yang kurang, yang mendekati atau justru di bawah rata-rata kelas. Orangtua sibuk melihat ‘lubang galian’ yang sebisa mungkin ditutup anak di semester mendatang. Bahkan, tanpa bertanya atau menelusuri mengapa anak memperoleh hasil belajar yang demikian, beberapa orangtua langsung mengambil keputusan sepihak agar nilai tersebut meningkat di kelas yang baru.
“Mulai bulan ini kamu harus ikut les. Nggak boleh nolak.”
Namun saya mendapatkan sebuah cerita menarik, di mana seorang guru justru memberikan apresiasi kepada para siswa di tahun ajaran baru dengan memberikan sebuah nilai A. Dia adalah Benjamin Zander, seorang guru musik sekaligus konduktor di Boston Philharmonic. Mengapa dan bagaimana seorang guru bisa memberikan nilai semudah itu?
Pada hari pertama tahun ajaran baru di sekolahnya, Benjamin akan mengumumkan pada siswa di kelasnya bahwa setiap anak akan menerima sebuah nilai A. Yang harus para siswa lakukan sederhana saja: menulis sebuah surat kepada sang guru. Anak diminta melakukan kilas balik, melihat proses dan hasil belajar mereka selama setahun sebelumnya, dan menceritakan pencapaian terbaik mereka.
Bagi Benjamin, sangatlah menarik untuk melihat bagaimana anak dapat memandang dan menghargai diri sendiri – usaha-usaha mereka – dan hal tersebut tercermin dari surat-surat yang para siswanya tuliskan di hari pertama tahun ajaran baru. Dengan melihat kekuatan anak, dan mengantarkan setiap anak untuk sadar bahwa setiap mereka adalah istimewa, Benjamin Zander percaya bahwa anak akan memiliki sikap optimis dalam belajar setahun mendatang.
Berhenti Sejenak untuk terus Berkarya: Hiatus untuk One Direction
Mengapa Portofolio Bakat Anak itu Penting?
Gadget bisa Dipakai Anak Berkarya? 5 Langkah yang perlu Orangtua Tahu
Kekhawatiran para orangtua dan dengan mudahnya Benjamin Zander memberikan nilai A adalah dua hal yang, bahkan bisa dikatakan bertolak belakang. Saat sebagian orangtua lebih sibuk membantu, bahkan memaksa anak memperbaiki kekurangan-kekurangan mereka, Benjamin Zander bisa melihat bahwa mengakui dan mengapresiasi kekuatan anak dapat menjadi bekal anak untuk belajar optimal. Nilai bukan perkara yang penting, sepenting saat anak sadar bahwa mereka telah melakukan usaha terbaik mereka di tahun sebelumnya. Kesadaran ini dapat mendorong dan memotivasi anak untuk terus belajar, berlatih, dan berkarya di tahun ajaran baru – termasuk di bidang-bidang yang kurang mereka kuasai.
Bagaimana Ayah Ibu menyemangati anak dalam menghadapi tahun ajaran barunya?
Foto oleh Nick Page