Ingin Anak Berprestasi? Jangan Ikutkan Lomba. Inilah Alasannya
Banyak orangtua ingin anaknya berprestasi, kemudian berlomba-lomba mengikutkan anaknya ikut lomba. Tanpa sadar bahwa semakin banyak lomba semakin besar dampak negatifnya.
Berprestasi mungkin jadi impian banyak orangtua terhadap anaknya. Siapa sih orangtua yang tidak ingin anaknya berprestasi? Besarnya hasrat membuat banyak orangtua dan sekolah memilih ukuran berprestasi yang mudah diukur. Jadi juara dan dapat piala yang untuk mendapatkannya anak harus mengikuti suatu lomba. Lemari penuh piala adalah tanda kebanggaan.
Tapi tahukah anda bahwa ikut lomba, jadi juara dan dapat piala BUKAN ukuran berprestasi? Tahukah anda bahwa ikut lomba justru berdampak negatif pada anak?
Saya akan mengajak anda pada suatu siang ketika saya berjumpa seorang teman yang menceritakan pengalamannya. Ia dulu rajin mendaftarkan dan mengantarkan anaknya untuk ikut lomba menggambar. Sebagaimana kebanyakan orangtua, ia meyakini bahwa lomba membuat anak semangat berlatih. Semakin berlatih, semakin mahir anak, semakin berprestasi.
Sampai suatu hari ia mendapati anaknya sedang membongkar tumpukan majalah di gudang di rumahnya. Sang anak memeriksa satu per satu majalah anak seakan mengincar satu edisi yang berharga. Ia penasaran dan bertanya pada sang anak. Alangkah terkejutnya ia mendapat jawaban dari anaknya bahwa ia mencari edisi majalah anak yang mengumumkan pemenang lomba menggambar pada tahun lalu.
Buat apa anak itu mencari majalah yang terbit tahun lalu? Ya, anak itu ingin melihat gambar macam apa yang dimenangkan oleh tim juri. Ia ingin mempelajari gambar tersebut dan berusaha menggambar seperti gambar pemenang tahun lalu itu.
Teman saya terhenyak mendengar jawaban sang anak. Tidak terbayang sedikitpun di benaknya bahwa upayanya mengikutkan anak ke lomba menggambar justru membuat anak tidak percaya diri dengan kemampuannya. Bukannya menunjukkan keunikan dirinya, tapi justru menjiplak gambar anak lain. Suatu dampak yang tidak pernah disangkanya. Sejak itu, ia tidak pernah lagi mengikutkan anak ke lomba menggambar maupun lomba yang lain.
Cerita itu kisah nyata. Kisah itu mungkin bukan satu-satunya, ada banyak kisah serupa di masyarakat kita yang kecanduan lomba. Apakah dampak negatif lomba hanya kebetulan atau memang menjadi dampak yang menetap?
Keyakinan terhadap kompetisi dalam dunia pendidikan di tingkat global terbagi dua. Negara yang percaya pada kompetisi vs negara yang percaya kolaborasi.
Negara yang meyakini kompetisi terlihat dari banyaknya kegiatan lomba dan olimpiade sains yang bisa diikuti oleh anak-anaknya. Jumlah medali dari olimpiade sains menjadi ukuran prestasi suatu negara. Tak heran bila mereka mengirim sebanyak mungkin anak untuk mengikuti olimpiade sains. Semakin banyak anak yang ikut semakin besar peluang suatu negara mendapat medali.
Sebaliknya dengan negara yang percaya kolaborasi. Mereka justru mengabaikan perlombaan dan olimpiade sains. Mereka lebih banyak menstimulasi anak-anaknya dengan aktivitas yang menuntut kemampuan berkolaborasi. Bila ada persaingan jumlah medali olimpiade sains, mereka pasti kalah telak.
Tahukah anda Finlandia yang sistem pendidikannya diakui sebagai salah satu terbaik di dunia termasuk kelompok negara mana? Negara yang meyakini kolaborasi.
Bila ada lomba jumlah medali olimpiade sains antara Indonesia dan Finlandia, maka negara kita pemenangnya. Tapi mengapa sistem pendidikan Indonesia terpuruk dan sistem pendidikan Finlandia diakui secara global?
Ya karena logika kompetisi dalam pendidikan adalah logika yang menyesatkan. Anak berprestasi tidak diukur dari jumlah juara dan piala. Sistem pendidikan berprestasi tidak diukur dari jumlah anak yang mendapat medali olimpiade sains.
Mengapa logika kompetisi dalam pendidikan itu menyesatkan? Mari kita simak pendapat ahli pendidikan global, Alfie Kohn di tulisannya berjudul The Case Against Competition. Setelah melakukan kajian terhadap riset di bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, biologi dan bidang lainnya, beliau menyimpulkan bahwa kompetisi pada dasarnya buruk. Kompetisi yang sehat dalam pendidikan adalah istilah yang rancu dan kontrakdiktif.
Kompetisi pada harga diri anak ibarat gula pada gigi. Seperti semakin banyak gula maka semakin rusak gigi, begitu pula dengan kompetisi, semakin banyak diikuti semakin merusak harga diri anak. Kompetisi membuat anak melakukan evaluasi terhadap kemampuan dirinya berdasarkan sumber eksternal, anak lain atau peserta kompetisi yang lain. Semakin banyak lawan yang dikalahkan, semakin besar harga diri anak. Menjadi baik tidak cukup, bila tidak mengalahkan semua lawan.
Anak-anak sukses ketika mengatasi kompetisi, bukan karena kompetisi. Banyak orang meyakini bahwa kita melakukan yang terbaik ketika berada dalam sebuah kompetisi. Tanpa kompetisi, kita menjadi orang yang malas, sedang-sedang saja, atau asal berusaha. Itu adalah pandangan palsu karena kita terjebak melakukan penilaian diri hanya dari sumber eksternal.
David Johnson, seorang profesor psikologi sosial di Universitas Minnesota mengkaji semua riset dengan topik kompetisi yang dilakukan sejak 1924 hingga 1980. Enam puluh lima studi membuktikan bahwa anak-anak belajar lebih baik ketika berada dalam lingkungan yang kooperatif dibandingkan yang kompetitif, delapan studi membuktikan sebaliknya dan 36 studi menemukan tidak ada perbedaan antara keduanya. Masih percaya kompetisi membuat anak semangat belajar?
Kompetisi adalah sumber permusuhan. Tidak semua anak akan menang dalam sebuah kompetisi. Bila ada anak yang menang, maka anak yang lain pasti kalah. Seorang peserta kompetisi dibiasakan memandang peserta lain sebagai penghalang dari kemenangannya.
Mereka yang berada dalam lingkungan kompetisi akan sulit memahami sudut pandang orang lain. Riset membuktikan bahwa anak yang kompetitif cenderung kurang berempati pada anak yang lain. Semua urusan dilihat dari sudut pandang kepentingannya. Bila ada yang menghalanginya, maka anak tersebut harus dimusuhi.
Bersenang-senang tidak berarti mengubah lapangan bermain menjadi arena kompetisi. Kita seringkali menganggap kompetisi adalah satu-satunya sumber kesenangan buat anak. Hampir semua kegiatan anak-anak bersifat kompetisi bahkan kegiatan yang sifatnya untuk bersenang-senang sekalipun. Semuanya dilombakan.
Saya sendiri menyaksikan perubahan dari kompetisi menjadi kolaborasi justru membuat anak saya mendapatkan kesenangan yang lebih besar. Di tempat les piano yang lama, Damai pasti diikutkan lomba piano minimal pada akhir semester. Di tempat les piano yang baru, Damai mendapat proyek untuk terlibat dalam pentas piano.
Dalam pementasan piano, Damai bergabung dalam kelompok yang anggotanya ada anak berkebutuhan khusus. Ketika kompetisi, anak berkebutuhan khusus seringkali dipandang merepotkan dan mengganggu usaha kelompok. Tapi dalam pentas piano, siapapun bekerja sama, saling membantu, agar bisa menampilkan permainan terbaik. Baca lengkapnya di beberapa tulisan berikut ini, Persiapan Movie Land, Konser Piano Movie Land, We’re Proud to Be Part of This Music School, dan Belajar Inklusif.
Ingin contoh yang lebih nyata bahwa berprestasi bukanlah buah dari kompetisi? Simak kesaksian Joey Alexander yang dikutip dari tulisan ini.
“But i just want to play and winning isn’t my goal. I came to the Grammys to play. Didn’t expect to win. It’s all about the music. The opportunity to play for both shows was a huge blessing”, Joey Alexander
Ingin contoh lain lagi? Silahkan sebutkan siapa tokoh yang Anda nilai berhasil, dan periksa kompetisi yang dimenangkannya. Steve Jobs, Bill Gates, Larry Page dan Sergey Brin, Mark Zuckerberg, atau siapapun, sebutkan siapa saja. Berapa banyak dari mereka yang sukses karena memenangkan perlombaan?
Pasti banyak yang tanya, bila tidak ikut lomba, bagaimana anak bisa berprestasi? Ukuran berprestasi bukanlah jumlah juara, piala atau medali. Menjadi juara, dapat piala atau medali tidak memberikan banyak informasi mengenai tindakan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri.
Dalam buku Bakat Bukan Takdir, saya menyebutkan ukuran berprestasi adalah karya yang dihasilkan anak dan manfaat dari karya tersebut bagi orang lain. Karya yang ditampilkan ke publik sehingga dikenal dan mendapatkan umpan balik yang berguna bagi anak untuk melakukan perbaikan dan pengembangan diri.
Sayangnya, karya anak jarang mendapat kesempatan untuk tampil karena kebanyakan kegiatan anak sifatnya lomba. Kadar kompetisi pada kegiatan anak sudah jauh melampui ambang batas. Bahkan kegiatan serupa pada orang dewasa tidak menjadi lomba tapi berubah menjadi lomba ketika dilakukan oleh anak-anak. Misal, ada lomba menggambar untuk anak tapi tidak ada lomba menggambar untuk orang dewasa.
Lebih ironis lagi, sekolah terbaik justru mendorong murid memenangkan lomba semata-mata untuk meraih atau mempertahankan predikat terbaik. Murid yang terlihat menonjol diikutkan lomba, sementara murid kebanyakan diabaikan. Murid yang menang lomba, diikutkan lomba-lomba yang lain, bahkan lomba yang tidak terkait dengan minat dan bakat murid yang bersangkutan. Itulah mengapa seringkali Sekolah Terbaik Justru TIdak Baik untuk Anak.
Pada sisi pengambil kebijakan pendidikan pun, hampir semua program dan kegiatan sifatnya lomba. Seolah-olah tidak ada cara lain untuk mengembangkan pendidikan selain melalui kompetisi. Pendidikan kita kelebihan dosis kompetisi.
Bagaimana menyikapi lingkungan pendidikan yang kelebihan dosis kompetisi?
- Pilih sekolah yang menumbuhkan potensi anak, bukan sekolah yang terobsesi menjadi sekolah terbaik. TemanTakita.com tengah menerbitkan buku Panduan Memilih Sekolah untuk Anak Zaman Now sebagai panduan orangtua memilih sekolah yang menumbuhkan potensi anak. Buku ini dilengkapi panduan observasi dan wawancara yang memudahkan orangtua menilai sebuah sekolah. Anda hanya bisa mendapatkan buku ini di MemilihSekolah.com
- Seimbangkan porsi kegiatan anak antara kegiatan kompetisi dengan kegiatan non kompetisi. TemanTakita.com bersama para relawan telah merintis kegiatan non kompetisi yang disebut sebagai Suara Anak. Suara Anak adalah forum buat anak bercerita selama 5 - 10 menit mengenai pengalamannya menekuni suatu bakat atau kegemaran. Suara Anak bukan lomba, artinya tidak ada anak dibandingkan dengan anak yang lain. Setiap anak telah dianugerahi bakat uniknya sendiri. Sepanjang gemar dan tekun melakukan aktivitas bakatnya, anak bisa tampil dan presentasi di Suara Anak. Pada Suara Anak, anak-anak bangga dan bahagia, bukan karena menjadi juara, melainkan karena mereka bisa tampil sebagai dirinya sendiri, diri terbaiknya.
Apa lagi tips untuk menghadapi ekosistem pendidikan yang kelebihan dosis lomba? Tuliskan pendapat Anda di kolom komentar
Sumber foto: Flickr
Interesting point of view
Terima kasih
Berkemah mungkin untuk anak yang lebih besar? Bapak dapat berikan contoh-contoh proyek kolaborasi untuk anak usia 10-11 tahun? (Kalau bisa 10 contoh Pak ya, hehe…). Gak pake biaya besar, gak pake waktu dan tenaga banyak. Sederhana saja, tapi menyenangkan dan bukan berupa rutinitas yang menjemukan. Anaknya dominan otak kiri, ranking 1 terus dari kelas 1 sampai kelas 5 ini, biarpun jarang belajar. Watak egosentris, harus menang terus. Main catur harus menang, main bola harus menang, kalau ada tanda-tanda mau kalah alasan temannya curang. Ngomong juga harus menang. Diajak kerjasama, misalnya hari minggu bersihkan rumah, ada aja ributnya, banyak komentar, menurutnya, kerjaan yang lain gak sebagus dia…,.Tidak pernah les ini itu yang sifatnya les mata pelajaran. Kecuali pernah ikut klub sepak bola untuk anak krn kemauannya sendiri, sekarang sudah tidak, tapi masih suka main futsal. Jago matematika (maaf saya bilang jago, cuma untuk menggambarkan memang dia punya bakat logika matematika yang sangat baik.. Kurang inisiatif dan kurang kreatif. Nah kembali ke topik Pak, apa proyek kolaborasi yang cocok untuknya, supaya bisa melatih kemampuan bekerjasama yang baik. Terima kasih ya Pak..
dari sudut pandang saya, sebenarnya ada peran orang tua yg tertinggal disini, orangtua hrs sadar bahwa ikut lomba bukan untuk menang, jadi juara atau dapat piala. tetapi mengajarkan anak untuk lebih percaya diri menunjukkan dirinya dan yang terpenting belajar untuk menerima kekalahan, ini oeran terpenting yang sering dilupakan.
saya sedari kecil sering ikut lomba, dan saya sangat bersyukur orangtua saya mengajarkan sikap positif dalam menerima kekalahan dan bagaimana menerima kemenangan dengan cara yang tepat..
ini sangat berguna ketika besar saya mengalami kegagalan, saya tidak mudah kecewa krn saya sudah belajar bagaimana melewati kekalahan..
kemenangan bukan tujuan lomba tetapi pembelajaran menjadi pribadi yang siap menang atau kalah, trus berusaha yg terbaik dan lebih percaya diri dan melihat potensi dirii…
semoga tulisan saya memberikan perspektif yang berbeda…
Setuju tentang peran orangtua dalam membantu anak memaknai aktivitas dan hasilnya. Meski peran orangtua sudah positif pun, tidak semuanya bisa dikelola orangtua. Kompetisi tetap akan menciptakan situasi yang kompetitif. Pada batasan tertentu dapat ditoleransi, tapi melampui batas akan membuat anak mempunyai cara berpikir kompetitif, mengalahkan lawan dengan segala cara.
Silahkan baca kembali, ada kutipan hasil riset…..puluhan hasil riset bahwa kerjasama justru lebih mendukung proses belajar.
Setujuu. Intinya dan tujuannya dpt berbuat baik bg diri sndiri dan bg org lain. Hal ini mengarah ke moral anak sampai kelak dewasa
Mengalahkan lawan dengan segala cara? Dapat teori darimana anak kecil berfikiran seburuk itu Om?
Berpikiran buruk? Itu label dari orang dewasa.
Anak bukan kertas kosong, sejak lahir telah mampu belajar untuk memenuhi kebutuhannya seperti kapan harus menangis untuk mendapat perhatian orang dewasa. Anak (orang dewasa juga) akan menjaga harga dirinya. Ketika ia terjepit daam situasi kompetisi maka anak akan berusaha memenuhi kebutuhan akan harga diri. Siapa yang mengajari? Orang dewasa yang terlalu mencekoki lomba ke anak sejak dini dan terlalu sering
Iya. Sy jg berpikir begitu
Setuju..anak2 sy senang ikut lomba n km sbg ortu tdk memaksakn mrk
Setuju sekali.Maka dari itu bijak lah menjadi orang tua dan satu lg anak mempunyai hak sendiri jika anak tdk ingin ikut lomba jgn paksa, efek negatif muncul saat hak anak terenggut, jgn lah jd ortu yg diktator.
Mencoba memahami….
Menambah wawasan tentang bagaimana cara mendidik anak. Walopun demikian, ternyata dunia lebih didominasi oleh hal2 yang kompetitif; pekerjaan (even wirausaha), masuk sekolah, kuliah, bahkan bermusik sebagaimana yang penyaji sampaikan. Tentu tidak semua orang yang bisa bermain piano dapat berkolaborasi dengan (misalnya) Dream Theater, Kamelot, Padi, etc. hanya yang lolos seleksi (aka kompetisi) yang dapat tampil. Ujung-ujungnya adalah kompetisi: menang atau kalah. Saya sangat setuju dgn komentar Via.
Namun, dalam perspektif tertentu & jangka waktu terbatas, kolaborasi adalah cara yang baik sebagai salah satu rangkaian mendidik anak 🙂
Dunia lebih didominasi kompetisi? Iya pada jaman industri ini memang begitu. Kenapa? Karena banyak orang berpandangan seperti itu, termasuk anda mungkin.
Saya sudah berikan tantangan di atas. Sebutkan tokoh sukses menurut anda, lalu cek seberapa banyak kompetisi yang diikuti dan pengaruhnya terhadap kesuksesannya. Sebut saja Dream Theater, menang kompetisi berapa kali? Kalaupun ikut kompetisi, berapa besar pengaruhnya terhadap keberhasilan Dream Theater?
Perhatikan poin lainnya. Sukses karena berhasil mengatasi kompetisi, bukan karena kompetisi. Apa artinya? Meski ikut kompetisi, tapi tidak terpengaruh dan tidak menggunakan cara berpikir kompetisi. Contoh? Pernyataan Joey di atas.
“But i just want to play and winning isn’t my goal. I came to the Grammys to play. Didn’t expect to win. It’s all about the music. The opportunity to play for both shows was a huge blessing”, Joey Alexander
Joey terlibat dalam kompetisi, tapi ia tidak menggunakan cara berpikir kompetisi.
tapi anehnya di sekolahku dulu anak yang ikut lomba saat SMA memiliki pekerjaan yang lebih baik dari anak yang tidak ikut lomba. . . ^_^
Bagus lah kalau begitu. Anda punya banyak contoh untuk ditiru
Jiwa kompetitif tidak selalu diciptakan dari seringnya anak ikut kompetisi. Dalam diri anak masing-masing sudah ada rasa kompetitif dan ingin selalu menang/lebih baik dari temannya. Ada anak teman saya sangat tidak mau kalah, sampai tidak pernah mau ikut kompetisi karena takut kalah. Dia bisa sangat marah dan kecewa ketika nilai ulangan temannya lebih tinggi darinya, sampai akhirnya dia mem-bully temannya karena hal itu. Saya pikir setiap anak itu unik, tidak bisa disamaratakan dan kompetisi dianggap sebagai suatu hal yg buruk untuk anak. IMO ada kalanya kompetisi adalah salah satu cara kita untuk mengajarkan kepercayaan diri dan menyikapi kekalahan bagi anak, namun memang frekuensinya yang harus dibatasi.
Justru itu. Jiwa kompetisi sifatnya insting, sudah ada dalam diri kita. Bahkan bukan hanya manusia, tapi juga hewan. Insting untuk bertahan hidup. Tidak perlu lomba-lomba, kita sudah punya insting itu.
Tantangannya justru jiwa kolaborasi, kerja sama dengan beragam anak yang lain. Bagian otak yang mengatur empati, bahasa, kerja sama dan kolaborasi adalah bagian otak yang khas manusia. Pendidikan harusnya mengembangkan jiwa kolaborasi ini.
Saya kira kompetisi dalam pengertian secara umum sangat diperlukan. Dasarnya apa? “Berlomba-lomba dalam kebaikan”. Orang yg sukses di dunia sekarang ini justru sering memperlihatkan kompetisi demi melanggengkan usahanya.
Saya pikir beda konteks ya. Apa pernah anak anda ikut lomba kebaikan?
Pernah lah Pak misalnya memperbaiki bacaan AL Quran, menghafalkan Alquran, berpuasa, bersedekah, membantu sesama … Banyaklah pokoknya … He3
artikel yg bagus pak. setuju dgn prinsipnya tapi kok curiga contohnya dibuat2 (apa untuk tujuan kompetisi memenangkan pembaca yg banyak? hehe). anak yg mengkopi juara lukis sebelumnya rasanya daya pikirnya bukan sembarangan. mengkopi jg bagian dari proses belajar. tapi ide dia sangat brilian. mengkopi lukisan jg bukan hal yg mudah. dan melukis pun sebenarnya memiliki prinsip melakukan kopi. jadi saya kurang percaya dgn contoh itu pak. kalau memang benar. ga bisa dipungkiri anak itu berbakat besar (krn hasil kompetitif?). selain memiliki skill menggambar. dia jg mampu menampilkan solusi yg out of the box (mengkopi lukisan sang pemenang).
Hahaha kalau tidak percaya kok ditanggapin. Abaikan saja ya
Mental korupsi, perebutan kekuasaan/jabatan, berusaha menjatuhkan lawan seperti yg sering tampil dalam drama perpolitikan di Tanah Air adalah salah satu dampak kebiasaan kompetisi Dimasa kanak2…
Saya pernah punya pandangan serupa, sayangnya sampai saat ini belum ada riset yang membuktikannya. Atau saya belum menemukan risetnya.
justru saya berfikir, apakah para pejabat yg rata2 sudah old dijaman now,pada jaman kanak2 nya dulu sering mengikuti olimpiade??? kenapa pemuda pemudi jaman now sangat kritis dan kreatif?
saya rasa mental korupsi,perebutan kekuasaan dll itu adalah urusan IMAN
pengalaman saya ketika masih Tk- SMP. saya paling sering ditunjuk sekolah untuk ikut kompetisi belajar ataupun seni. orang tua saya tak pernah mengikutkan kompetisi kalau saya memang tidak suka. walaupun juga menanamkan, raihlah best performance-mu, masalah menang atau tidak…itu tak jadi masalah.
berkompetisi dan lomba ada segi baiknya membuat saya sangat kompetitif, lebih perfeksionis meraih apa yang saya targetkan dan selalu optimis alias pantang menyerah. sampai saya sudah dewasa dan bekerja itu masih terbawa efeknya.
dalam agama islam ada “Fastabiqul khoirot” berlomba-lombalah dalam kebaikan dalam rangka mencapai kebaikan di dunia maupun akhirat. karena disini ada ikhtiar, doa dan tawakal. menang kita tetap bersyukur kalahpun kita tetap tawakal.
kadang kita lupa makna “berprestasi” hanya untuk meraih dunia saja, padahal berprestasi dunia maupun akhirat adalah tujuannya.
Ya kesimpulan puluhan riset dengan pengalaman anda tentu pengalaman anda yang lebih anda yakini. Sah saja. Tapi tidak mematahkan kesimpulan risetnya
Sebagian saya kurang setuju dengan pendapat anda. Jiwa kompetisi sebaiknya justru harus dibangun.. tapi dalam konteks kompetisi yang sehat. Anak kami sering ikut lomba sains, karena memang dia jg sangat tertarik dengan dunia sains. Dalam setiap lomba kami selalu menanamkan bahwa musuhmu bukanlah teman2 peserta lomba.. tp musuhmu adalah soal.. saat menang dia kadang komen.. alhamdulillah kebetulan saja mungkin aku bisa jawab soal..dan saat kalah..dengan tenang dan santai dia bilang ‘seperti kata einstein.. semua orang itu genius.. so every one could be a winner..
Pernah juga teman sebangkunya disekolah sakit, saya dapat laporan dr teman2 sekelasnya bahwa anak saya merawat temannya yang sakit, menemani ke uks, membelikan makan dan minum teh panas..sewaktu pulang sekolah saya tanya anak saya.. why did you do that? Dengan santai dia jawab.. cos that what’s friends are supposed to do.. menurut saya berartinya dia punya rasa peduli dan empati thd teman, ternyata dari banyak lomba sains yang dia ikuti tidak membuatnya jd pribadi yg egois dan tidak peduli dengan orang lain..
Bahkan dia minta saya utk menyumbangkan sebagian uang hadiah juara dari berbagai lomba yg dia ikuti utk dibelikan buku2 bacaan baik cerita maupun sains utk anak usia tk dan sd..dan disumbangkan ke sklh disalah satu desa terpencil diklaten..dia bilang..aku ingin anak2 didesa itu juga senang membaca..
Dampak buruk dari kompetisi seperti yg anda tuturkan itu menurut saya muncul dari bagaimana orang tua dan pendidiknya sering mementingkan hasil.. yang penting juara..dan celakanya seringkali menghalalkan segala cara supaya bisa juara..
Jadi menurut saya bukan kegiatan lombanya yang menjadikan anak egois dan sebagainya..tapi cara orang2 disekitar anak (dalam hal ini orang tua dan pendidik) itulah yang menanamkan jiwa kompetisi yg tidak bertintegritas kedalam diri seorang anak..
Kesimpulan bahwa kompetisi berdampak negatif adalah kesimpulan puluhan riset, bukan sekedar pendapat saya pribadi.
Anda mengutip “seperti kata einstein.. semua orang itu genius.. so every one could be a winner..” dari sumber mana? Buku? Web?
Ayo kita amati baik-baik. Einstein dan ilmuwan dunia lainnya, berapa dari mereka yang sukses karena menjuarai olimpiade sains?
Sy spndpt dgn sdr.Jannah. seringkali lomba2 itu hny mementingkan hasil dan menghalalkan segala cara. Krn indikator keberhasilan sebuah lembaga/sklh dipksakan hrs dgn piala yg berlimpah tnpa mementingkan proses’a spt apa. Jd scr tdk lngsung akan menanamkan kpd anak untuk berkompetisi dgn cara2 ilegal. Yg pntg *menang* dan *dpt piala* itu srg terjadi….
Penulis gagal paham. Yang salah cara mendidiknya tapi yang disalahkan lombanya. Yang salah pengemudinya tapi yang disalahkan mobil dan lampu merahnya. Kenapa pula membandingkan medali dg finland bukan cina, sedangkan cina jauh lbh maju ekonominya dari finland.. Karena untuk mendukung opini gagal pahamnya.. Kasian deh yg jadi anak penulis.. Eh mungkin anaknya ga pernah menang lomba atau ga pernah ikut lomba 🙂
Sudah baca artikelnya sampai habis? anak penulis juga pernah ikut lomba kok
Mengapa Finlandia dan bukan Cina, padahal Cina lebih maju ekonominya? Saya memang tidak menjadikan ekonomi sebagai ukuran kesuksesan. Kalau anda menjadikan itu sebagai ukuran kesuksesan, silahkan saja. Saya tidak protes kok 🙂
Anak saya tidak pernah ikut lomba? Silahkan baca sampai tuntas ya…..
Mental kompetisi (pendapat sebagian orang termasuk saya) harus di bangun sejak dini untuk membekali si anak dalam berkehidupan di masa yang akan datang …karena pada kondisi tertentu dia akan berhadapan dengan situasi yg yang mengharuskan dia berkompetisi contohnya …. untuk masuk SMP, SMA, Kuliah ….bahkan untuk bekerja, dan berwirausaha (sesuai harapan) si anak akan berkompetisi berebut tempat dengan yang lain….
Saya jg setuju bahwa lomba itu menjadikan anak mampu menghadapi kekalahan.dan hal itu adalah bekal pembelajaran yg sangat bagusmenjalani kehidupannya kedepan
Melatih anak untuk memiliki jiwa yang kompettitif itu perlu, hanya saja bagaimana kita sebagai orang tua menyampaikannya dengan baik dan tepat sesuai porsinya sehingga tidak memaksa dan memberikan tekanan besar terhadap anak. Peran orang tua lah yang kini sangat penting dalam tumbuh kembang anak-anaknya.
Melatih anak untuk memiliki jiwa yang kompettitif itu perlu? Berkompetisi itu sudah jadi insting bagi manusia dan hewan. Tidak perlu dilatih pun sudah ada dalam diri kita. Pernah melihat anak-anak berebut mainan? Makanan? Mengapa berebut? Siapa yang melatih? Tidak ada, karena itu sudah alami.
Tantangannya justru membantu anak kita untuk berempat…….
Sangat setju dg tlisan diatas, pnddkn kolbrasi sjtny revlsi mental pd dnia pnddkn, ruh dunia pnddkn seakan tlh hlang dg adany ranking kelas, scr tdk lgsg membuat anak sling brkmptsi mrbtkn posisi, pnddkn budi pkrti telah hlang dlm pnddkn skg, kalaupn ada sbts teori. Prnsip apa yg dpt ank cptkn dan manfaat apa yg d.dpt dlm cptaanya menjdkn anak lbh trgerak rasa saling mengashi, kbrsmaan, yg tntuny skap2 luhur dpt dkmbgkn dlm pnddkn kolaborasi. Bravo
Menarik *gelar tikar*
Saya guru TK, punya murid yang jiwa kompetisinya tinggi dan orang tua yang cara pikirnya sama seperti kebanyakan orang tua yaitu hasil. Sehingga sang anak tumbuh dengan jiwa kompetisi yang tidak sehat. Tapi, bahasanya bukan ‘jangan’ seperti di judulnya, Pak. Saya memang belum lama jadi guru. Tapi, saya tertarik dengan pemikiran Bapak. Misalnya pisau ya, pisau itu melukai. Namun ingat juga, Pak, pisau itu bisa untuk memotong daging supaya bisa jadi rendang yang sedap. Intinya, kompetisi perlu, bukannya ‘jangan’ alias sama sekali tidak ada. Memang ada sisi negatif dan positif. Tergantung: 1. Cara anak belajar, ada kok yg mampu menjadi lebih positif lewat kompetisi yg sehat. Kalo mmg anaknya ogah2 ikut kompetisi karena takut duluan, tidak baik dipaksa karena sama dengan merebut hak anak, 2. Cara pandang ortu, yang peduli hasil atau proses, 3. Frekuensi keikutsertaan (ini buat anak yg memang belajar lewat kompetisi), kebanyakan juga tidak baik (bahkan ketika terlalu banyak makan buah daripada karbohidrat atau protein juga bahaya walaupun buah itu sehat). Kompetisi dan kolaborasi sebaiknya seimbang. Bukan kompetisi dalam artian lomba saja loh ya, ini dalam artian luas. Seperti kompetisi siapa yg dapat koin kebaikan paling banyak dari Ayah (misalnya). Anak yg tidak suka kompetisi akan secara tidak langsung ada dalam kompetisi tanpa harus merasa terbebani. Kolaborasi ini juga perlu saya pikir, apalagi membentuk karakter yang tidak bisa didapat dari kompetisi, seperti bekerja sama dengan bahagia bukan kerja sama untuk mendapat piala. Kolaborasi memberikan peluang untuk menjadi ‘sama’, membantu satu sama lain untuk menghasilkan karya seperti pentas. Ya saya setuju kalau prestasi bukan soal piala. Dan ini tulisan yang cukup baik untuk jadi refleksi orang tua, yang anaknya sudah jauh terlampau terlena dengan kompetisi shg jadi tidak empati. Sekali lagi saya hanya mau memandang di tengah-tengah, netral, karena saya guru dan dituntut baik-baik dalam mencermati informasi. Semoga berkenan dan menjadi penyegar bagi semua. Terima kasih.
Gini lho. Tanpa dibela, mayoritas kegiatan anak itu lomba. Apalagi kalau anda memilih untuk membela, tambah banyak lagi. Sementara, kegiatan kolaborasi sekarang semakin tersingkir. Lebih butuh pembelaan anda untuk menyeimbangkannya
Saya tidak tahu di sekolah lain, tapi di sekolah saya sendiri lebih banyak mengikutsertakan anak untuk ikut dalam project yang guru2 berikan di kelas seperti misalnya membuat pot tanaman dan menanam di garden sekolah, membuat kue untuk dimakan bersama atau latihan menari untuk pentas di sekolah. Sedikit sekali anak-anak kami diikutkan lomba dan piala kami tidak lebih dari dua puluh sejauh ini. Kolaborasi saya pikir, itu otoritas guru karena sekolah tempat yang mana anak-anak menghabiskan waktunya selama 4-6 jam sehari. Jadi memang kalau mau melihat kurikulum, guru bisa kok membuat kolaborasi. Pertanyaannya: guru mau gak repot? Kolaborasi perlu waktu, tenaga, pikiran, belum lagi anak-anak saya di kelas umurnya 5-6 tahun. Tapi saya mau, anak-anak saya mau dan fasillitas ada, jadi anak-anak saya tidak terpikir menang kalah. Kalaupun ada kompetisi HUT sekolah, memang ada satu dua yang menangis tidak dapat piala. Namun, perlu waktu untuk anak-anak saya untuk paham apa itu piala. Itu kasus yang sama seperti Bapak bilang. Saya fokuskan mereka untuk ikut serta saja dan tidak pernah mau mention di kelas siapa yang menang kemarin di lomba shg mereka lupa. kalau tersingkir kolaborasi itu, mungkin kerena guru tidak memberikan exposure. Di luar kalaupun ada kolaborasi, hanya memang pada bakat tertentu (pentas orkestra) atau pada wilayah tertentu (di Bali belum ada tuh). Kompetisi lebih mudah diadakan, karena sekali diadakan ya sudah selesai. Temankita.com ini sudah bagus saya lihat, ada Bapak dan teman-teman lain yang mau membantu meningkatkan kolaborasi di luar sekolah. Yang saya mau harapkan agar sekolah-sekolah sadar karena itu rumah kedua anak-anak bahwa kolaborasi penting. Saya menerapkannya di sekolah, bagaimana dengan guru lain? Pola pikir guru, murid, dan orang tua perlu dirubah dengan mengadakan acara seperti temankita.com ini atau kalau tidak, guru yang membuka kesempatan untuk berkolaborasi dengan kegiatan sekolah.
Ih sekolah keren banget nget itu!
Salut buat sekolah maupun gurunya…..
Karena kita, kaum pendidik, bukan menyiapkan super bintang, tapi super tim, super bangsa. Maka ajaklah anak-anak untuk berkolaborasi 🙂
Saya menjadi sangat ingin tahu cerita : “bagaimana menyampaikan” dan “situasi seperti apa” yang “NYATA” terbangun dengan gagasan kolaboratif. Saya tidak ingat sudah berapa puluh tahun mencoba menyampaikan gagasan kolaboratif ” terutama” kepada guru, teman kerja dan orang tua siswa dengan hasil “No comment”. Terimakasih atas tanggapannya.
tulisan dari seseorang yang tidak bisa memenangkan apapun atau bahkan tidak punya kesempatan untuk memenangkannya. akhirnya menulis artikel seperti ini. kasihan penulis karena tidak bisa berprestasi
Steve Jobs, Bill Gates, Larry Page dan Sergey Brin, Mark Zuckerberg. siapa bilang mereka tidak berprestasi. karya mereka adalah prestasi” mereka. 😛
Apa saya mengatakan mereka tidak berprestasi? Tidak. Ini kalimat saya
Ingin contoh lain lagi? Silahkan sebutkan siapa tokoh yang anda nilai berhasil, dan periksa kompetisi yang dimenangkannya. Steve Jobs, Bill Gates, Larry Page dan Sergey Brin, Mark Zuckerberg, atau siapapun, sebutkan siapa saja. Berapa banyak dari mereka yang sukses karena memenangkan perlombaan?
Masalahnya jauh lebih sulit mengajarkan kolaborasi kepada dari pada mengasah ketrampilan pribadi dan mengukurnya melalui kompetisi..
Untuk dapat bekerja sama, berarti harus menyatukan ketrampilan dan kepribadian beberapa orang. Yang artinya, membutuhkan ketrampilan yang lebih kompleks seperti toleransi, empati dan komunikasi.
Adakah cara yang bisa kita lakukan untuk melatih anak berkolaborasi dgn maksimal?
Bahkan dalam kerja kelompok pun, kita bisa melihat hanya sebagian anak yg bisa berkontribusi.
Lalu dalam dunia olah raga, anak2 yg ingin menjadi atlit, apakah kompetisi ini juga perlu dikurangi? Mengingat di kehidupan nyata, kompetisi adalah inti sari dalam dunia olahraga.
Secara prinsip, memperbanyak kegiatan yang sifatnya kolaboratif. Misal, perkemahan, pameran lukisan, pameran karya, mewarnai bersama (1 gambar raksasa diwarnai bersama) dan banyak lagi.
Di atas saya menulis>> Pada dunia orang dewasa, lomba sebatas pada olah raga dan kegiatan yang memang hasilnya bisa diukur dan dibandingkan.
Iya memang. Bila bakat anak olahraga, kita harus menyiapkannya untuk berkompetisi. Tapi menyiapkan kompetisi tidak sama dengan mengikutkan lomba sebanyak-banyaknya. 🙂
MANTABS…!!!
Keereen sangat setuju. saya dan suami sejak dulu tidak pernah mengikut sertaan anak lomba. Bukan tidak percaya pada kemampuan anak tapi dari segi kompetisi nya sangat merugikan.
Buat penulis ada sebuah pertanyaan dari saya mohon dijawab, pertanyaanya adalah : bagaimana caranya mengembangkat bakat anak, jika bakat anak tersebut dari kecil pandai dalam bermain bulu tangkis, sepak bola, dan karate?
Apakah anak yg memiliki bakat sebagai atlit tdk boleh di ikutkan lomba?
Jangan ngawur bikin artikel
Anda bertanya tapi bilang saya ngawur. Nulis artikel dengan merujuk sumber riset masih dibilang ngawur. Gimana yang enggak ngawur? Ya percuma ya, kalau saya jawab nanti juga dibilang ngawur. Enggak jawab ah….
bapake..bapake.. tu contohe emang keto’e pasti top tapi lho anak-anak kita banyak tu yang berkolaborasi di Kalbe Junior Science Awards ( KJSA), pernah denger?? dan semuanya memajukan bangsa Indonesia, itu kata inyong
Artikel yg mencoba membuka wawasan kita sebagai orang tua….
Tergantung proses nya….
kompetisi dan kolaborasi ada sisi negatif dan positif
Kita ambil sisi positifny
yang paling penting bgm kita sbg ortu mampu mendampingi anak anak kita
untuk mengalami semua prosesny….
Terkadang yang membuat seorang anak tdk siap menerima kekalahan adalah krn org tua. Saya juga dl selalu ikut lomba.. hasilnya banyakan kalah dr pada menangnya. Tapi support dari Orang tua ttp kurasakan.
Kompetisi adalah hal yang diajarkan oleh Bapakku. Jiwa berkompetisi itulah justru yang membuat aku selalu mencari jalan untuk menang,kalaupun kalah yang penting aq berkompetisi dengan benar dan Kalah pun Keluarga tdk akan meninggalkan ku.
Aq pikir lomba2 tdk masalah utk mengajarkan anak arti sebuah perjuangan dan latihan. Selama orang tua juga paham arti perjuangan dan latihan.
Yang jadi masalah kadang,anak ga mau/minat ikut sebuah lomba tapi papa dan mamanya ngotot,alhasil anak depresi dan terjadilah seperti cerita artikel itu.
Saya setuju bahwa mungkin ada org yang sukses walau tdk pernah ikut lomba2. Tapi pasti dibelahan dunia sana ada juga org yang suksea dengan aktif diperlombaan.
Koreksi jika saya salah
Kompetisi terberat bukanlah melawan orang lain, tapi melawan diri sendiri. Bila mengacu pada orang lain, maka gerak kita akan mengikuti orang lain. Bila mengacu pada diri sendiri, maka kita akan terus bertumbuh dari pribadi yang lebih baik dari hari ke hari 🙂
Bagaimana dengan lomba-lomba tingkat universitas mas? Saya sebagai mahasiswa, tidak tertarik untuk mengikuti lomba-lomba kecuali lomba olahraga. Apakah itu sebuah hal yang negatif? Kebetulan di lingkungan perkuliahan saya juga, teman-teman berlomba-lomba untuk menjadi ketua organisasi, ketua pelaksana, ketua divisi, dan jabatan2 lainnya. Saya sih tidak masalah dengan hal itu, tapi sayangnya kebanyakan dari mereka menganggap remeh orang-orang yang tidak sejalan dengan mereka…
Bedakan dulu, lomba sebagai kegiatan dengan lomba sebagai cara berpikir. Sebagai kegiatan, bisa baik bisa buruk. Sebagai cara berpikir itu yang bikin masalah. Hidup adalah perjalanan, bukan perlombaan
Setuju. Saya seorang guru SD dan secara pribadi saya tidak suka jika anak mengikuti perlombaan.
Alasannya, karena dia/mereka akan sering izin tidak mengikuti pelajaran: untuk latihan dan saat pelaksaan lomba. Akibatnya, dia mengalami penurunan dalam akademik.
Saran saya, jika para orang tua ingin mengembangkan bakat anak, jangan mengorbankan “waktu anak”. Misal: jangan mengikutkan lomba di waktu anak seharusnya belajar (di sekolah maupun di rumah), jangan mengikutkan lomba di waktu yang seharusnya digunakan anak untuk beristirahat.
Sistem pendidikan di Finlandia lebih meyakini kolaborasi dibanding kompetisi.
Begitu pula di Inggris (UK), negara tempat anak kami Nendra mengenyam pendidikan dasar (Primary Education) saat ini. Guru-guru nya di sekolah cenderung mendorong para siswa berkompetisi dengan diri sendiri. Ukurannya adalah peningkatan terus-menerus kualitas kemampuan masing-masing anak dibanding kemampuan sebelumnya dan menantang diri untuk menjadi lebih baik setiap hari.
Karena setiap anak itu unik, biasanya mereka diberi stimulasi dan fasilitas untuk mengerjakan proyek, mengikuti pameran atau menampilkan karya sesuai keahliannya masing-masing 🙂
Terima kasih buat komentarnya. Bukan hanya komentar tapi juga tambahan bukti dan penjelasan. Saya setuju, lulus SD seharusnya anak sudah mempunyai beberapa karya yang terdokumentasikan sebagai bagian dari konsep dirinya. Karya tersebut yang akan menjadi bekal buat anak untuk masuk ke fase remaja, fase pencarian jati diri. Pada fase ini, anak akan lebih siap untuk memasuki dunia kompetisi karena sudah mempunyai konsep diri yang kuat.
Waktu masih sekolah SD, orang tua saya dulu selalu menekankan pada hasil, harus jadi nomer 1,secara bawah sadar sudah menanamkan kompetisi dalam diri saya, bahwa kalau tidak mencapai hasil itu, adalah kegagalan. Sampai saya sekolah menengah, barulah saya punya pemikiran sendiri, yang penting berusaha. Ketika ada lomba, saya mengikutinya hanya untuk kesenangan, kalah itu biasa, dan menang itu bonus.
Terima kasih sudah berbagi pengalaman. Saya setuju anak ikut lomba ketika sudah sekolah menengah, ketika sudah mampu berpikir mandiri atau punya konsep diri dan tujuan hidup.
Hidup itu sebenarnya adalah lomba (kompetisi), bukankah dalam Islam kita juga diajarkan untuk berlomba dalam amal ? Yang penting adalah mendampingi anak pada saat kalah. Ini yang sering dilupakan. Kalau tidak pernah diajak lomba, nanti masuk Perguruan Tinggi terkejut : bukankah IP itu adalah ukuran kompetisi (lomba) ? Segala hal nanti ditentukan dari IP, kesempatan untuk memperoleh bea siswa, kesempatan untuk ikut seleksi penerimaan pegawai di suatu lembaga tertentu (banyak lembaga menolak sarjana yang punya IP : 2,0 - 2,5) ….. setelah diterima jadi pegawai, harus berprestasi, apalagi kalau indikator kinerjanya adalah KPI (Key Performance Indicator) …. jadi jangan sampai anak belum terbiasa berlomba, kasihan, nanti dia akan terkaget-kaget karena dalam hidup ini penuh lomba, penuh persaingan, lebih baik kalah di usia muda dari pada kalah di usia senja … disinilah anak diajar tentang pentingnya agama sebagai penyeimbang kehidupan
Berlomba-lomba dalam amal? Coba cek lagi apakah istilah berlomba-lomba adalah terjemahan yang tepat.
IP dan KPI itu ukuran kompetisi? Iya, buat mereka yang berparadigma kompetisi termasuk anda. IP/KPI dirancang untuk memberi umpan balik pada seseorang agar ia bisa mengembangkan belajar/kinerjanya.
Hidup ini penuh dengan persaingan? Anda memberi komentar ini untuk berkompetisi? Saya yakin tidak. Saya percaya anda ingin memberi kontribusi. Terima kasih kontribusinya 🙂
Saya jg tidak setuju dgn lomba2 yg memberikan piala hanya kepada 3 pemenang. Padahal pesertanya yang bisa sampai ratusan orang sudah berusaha keras berlatih. Belum lagi pemenang ditentukan oleh selera juri (seperti lomba menggambar, menyanyi dll) . Jadi kalau yang menang cuma 3 orang, sisanya tidak berbakat ?? Konser musik tentu lbh baik drpd lomba musik, anak2 tetap berusaha yg terbaik tanpa terbeban siapa yg akan bawa pulang piala. Hanya sayangnya lomba lbh sering diadakan drpd konser. Kapan lg anak ada kesempatan berlatih bernyanyi di panggung mall kalau bukan ikut lomba ? Pdhal bernyanyi didepan umum akan meningkatkan pd anak (dan susah ngumpulin penonton) . Jadi menurut saya sih beberapa lomba masih pantas diikuti dgn tujuan mencari peluang anak unjuk gigi, tp tetap harus diingatkan ke anak, bukan piala 3 biji itu yg diincer tp kesempatan menunjukkan kemampuannya.
Baru2 ini saya ikut lomba nyanyi, pesertanya jauh2 sampai dari luar kota. Saya pikir, letih sekali anak2 ini harus bolak balik. Menang saja belum tentu. Kalau kalahpun tidak dapat apa2. Kayanya ngak harus semenderita itu kalau untuk mencari peluang mengasah bakat. Cari aja peluang dekat2 rumah.
Kurikulum 2013 mengusung 4 Kompetensi Inti (KI), seharusnya 6 kalau mengacu pada Core Skills dari 21st Century Learning dan Core Skills yang ketiga adalah KOLABORASI dan KOMUNIKASI, hanya sayangnya KI pada K13 tidak mengacu pada Core Skills dari 21st Century Learning
Jadi percuma bicara tentang KOLABORASI bila sekolahnya menerapkan Kurikulum 2013 dan revisinya
Kalau melihat tulisan di atas, seharusnya Bukik Setiawan tidak menyetujui penerapan K13 dan revisinya, karena K13 justru dikembangkan atas teori kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum) : Lihat Lampiran Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bab II D : Landasan Teoritis, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014 tergantung pada jenjang pendidikannya
Dalam Teori kurikulum berbasis kompetensi (ompetency-based curriculum), murid harus bersaing agar dinilai lebih kompeten dari murid lain, begitu juga gurunya, harus nampak lebih kompeten dari guru lain. Oleh sebab itu score dari Uji Kompetensi Guru (UKG) itu seharusnya menentukan apakah seorang guru masih berhak mendapat tunjangan sertifikasi atau tidak ….siapa yang harus mengikuti diklat lagi, dll … jadi semuanya bersaing atau berkompetisi, bukan berkolaborasi
Berbasis kompetensi artinya yang menjadi acuan adalah kompetensinya, bukan mengacu pada orang lain. Seorang guru dinilai kompeten bila menguasai kompetensi yang dipersyaratkan sesuai standar minimal yang ditetapkan. Acuannya kompetensi, bukan kompetisi dengan guru yang lain
Saya sepenuhnya setuju 100 % dengan pemikiran Mas Bukik Setiawan (salam kenal sekalian), saya juga tipikal penggagas perubahan bukan pengekor, telah lama juga mengusung prinsip kolaborasi dibanding kompetisi dalam ranah kehidupan sehari-hari.
Sebuah pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan seperti diatas yang (seharusnya) menggugah banyak orang, namun saya sedih melihat banyak pula yang berkomentar miring (asal jeprott) tanpa menyimak secara keseluruhan, tanpa melihat esensinya dan memperhatikan lain-lainnya, terlihat hingga beberapa kali di ralat oleh penulis untuk menyimak secara keseluruhan.
Saya juga teringat akan perkataan teman, pekerjaan yang termudah adalah BERKOMENTAR, apalagi tanpa melalui filter - filter “pengetahuan yang mumpuni” yang hanya akan menambah pusing kepala dan badan pegal-pegal, sudah menuangkan buah pikiran yang teramat berharga tapi tidak seberharga itu dimata para pragmatis.
Saya lantas terdiam, melamun, sedikit menerawang jauh … andai Nabi Muhammad Saw yang dikenal sebagai sebaik-baiknya manusia yang berahlak mulia hidup pada masa sekarang ini, saat Beliau mendakwahkan sesuatu lewat medsos-medsos kira-kira akan mendapat komentar-komentar miringkah ?
Tanpa perlu dijawab, kita semua tentu tau jawabannya. Mengapa ? Karena beda pengetahuan. Kita MALAS untuk belajar, tapi GEMAR untuk berkomentar/ bergosip, MARAH jika diberitahu, MENYANGKAL jika di beri pencerahan. Jadi entah maunya apa !
Akhir kata, tulisan ini pun memuat pesan, yaitu untuk berpikir dahulu sebelum berkomentar, sudahkah pemikiran kita para komentator seluas pemikiran si penulis? Ia bukanlah asal penge-blog biasa. Jika ada yang tak dipahami lebih baik bertanya dari pada menyangkal. Karena Bertanya beda dengan Menyangkal.
Salam Hangat
Saya suka demgam kalimat klo kita bisa berkembang di lingkungan yg kooperatif drpd kompetitif, ini sy alami di kuliah sekarang. lingkungan yg kompetitif ini benar2 membuat depresi sebagian besar teman2 angkatan saya. Tp mau gimana lagi, kita sdh terlanjur berada di lingkungan kompetitif. Tp apa bisa lingkungan yg kompetitif kita rubah menjadi kooperatif?
Saya sudah lama merenungkan kondisi Pendidikan di Indonesia dibandingkan Finlandia.
Menurut Saya kompetisi itu tidak berguna, karena lebih banyak efek negatif dibandingkan positifya.
Cara belajar di Finlandia pun sangat menarik, siswa hanya sekolah 5 Jam setiap Hari, Tidak ada PR , Belajar hanya Mata Pelajaran yang anak sukai , jadi anak bisa Mengetahui ke arah Mana ia menuju.
Tidak harus menunggu perguruan tinggi.
Saya yakin, sistem Pendidikan Finlandia bila diterapkan di Indonesia akan menyelesaikan semua masalah pelajar di Indonesia sedikit Demi sedikit.
Wujudkan Pendidikan yang menyenangkan, tidak membebani siswa.
Sekolah 8 Jam sehari + Ekstra ya maksimal 3 jam, pulang malam Les, Mengaji , Tidur jam 9 bangun jam 4 lagi. Waktu mereka Berman hanya Sabtu Dan Minggu, itupun mereka masih memikirkan tugas tugas sekolah terutama pada Mata Pelajaran yang sangat mereka benci tentu menambah beban psikologis mereka.
Kalau Revolusi Industri saja bisa terjadi.
Dengan semua IPTEK yang ada saat ini tidak bisa terjadi Revolusi Pendidikan?
Benar, bukannys menguasai secara mendalam suatu msteri, siswa dilatih untuk memahami seluruh materi di seluruh pelajaran. Menurut pemikiran saya, sebaiknya siswa jg belajar dan mendalami di pelajaran yang ia sukai. Misalnya anak tersebut menyukai seni, lebih baik anak tersebut mengasah dan menunjukkan dirinya di bidanh seni daripada ia belajar kimia yang mungkin baginya ia tidak sukai. Selain itu tidak efektif pula pulang sampai sore dgn ditambah pr2 yang banyak, karena pada akhirnya siswa akan berusaha mencari jalan cepat misalnya brainly untuk mengerjakannya yang seharusnya ia pahami, dan oleh karena itu nilai nya akan jatuh ketika ujian. Saya lebih menyukai dengan pelajaran yang mengajak diskusi contoh nya pkn yg menanyakan bagaimana sih bhineka tunggal itu?? Oleh karena itu saya menyetujui dan sependapat bahwa kompetisi seharusnya dibatasi untuk anak2 usia dini dan orang tua yang pintar untuk mendidik anak tersebut.
Maaf bila ad salah kata
Terimakasih banyak..
Ini sangat membantu sy yg baru memiliki 1 anak yg baru mulai belajar di kelas paud.
Terima kasih atas artikelnya…. Setidaknya memberikan pandangan bru bgi sya ortu muda…
menarik.
di sklh gw, bnyk anak yg gila bersaing. knp gw sbt gila? krn saking sukanya bersaing, mrk smpe ga lg merasa bersalah pke cara2 kotor buat menang/unggul dr yg lain. lucu. iya.
setau gw, dg pngthuan dan pnglmn yg sedikit kali ini, yg namanya “persaingan”, punya efek buruk yg mendorong seseorang buat jadi tokoh yg ga jujur ato licik, mau sedikit ato bnyk.
untungnya gw ga ikut2an over kyk mrk, krn gw percaya apa yg kita biasa lakukan sedari dini bakal jadi sesuatu yang “normal” ketika kita udh dewasa, dan hal it bkn sesuatu yg bisa dianggap remeh, hal in bkl jd kyk “bom waktu”. if you know what i mean.
hehe.. gra2 ini, gw jg mikir mungkin salah satu penyebab bnyk pemimpin negara kita yg sukanya main kotor adalah krn persaingan di lingkungan mrk sendiri kali ya?
Akhirnya ada yang bikin tulisan seperti ini setelah bertahun2 saya minder karena hanya saya satu2nya yang tidak pernah memenangkan apapun dalam lomba prestasi akademik/non-akademik di sekolah sama sekali dan sm sekali tak pernah dapat piala atau medali seumur hidup baik di sekolah maupun di luar sekolah (palingan piala yang saya miliki itu cuma piala pas lomba Agustus-an di kampung) dan saya selalu kalah dgn adik saya klo soal prestasi sekolah.
Kalau pun pernah menang paling juga menang lomba paduan suara pas SMA pas dpt juara 3, Itu pun memang barengan, tp klo saya lomba individu pasti nggak sanggup karena saya orang yg mudah pesimisan klo hadepan sm org lain sm suka malas latihan.
Terima kasih banyak atas tulisan yang seperti ini. Sya nggak perlu merasa minder lagi karena masalah nggak pernah dpt prestasi selama di sekolah.
Intinya hidup bukan diukur berdasarkan banyaknya piala dan/atau medali, tapi berdasarkan pengalaman hidup yg kamu lalui.
terimakasih banyak untuk artikelnya pak. saya sangat tertolong dengan artikel anda. saya merasakan dampak yang sangat besar dalam diri saya akibat dari kompetisi. akibatnya negatif!saya bahkan berpikir bahwa saya bukanlah siapa2 (krisis kepercayaan diri) karena saya tidak pernah memenangkan kompetisi. tapi akhirnya saya sadar berkat tulisan bapak. saya belajar untuk melakukan hal yang saya sukai dan fokus mengembangkan skill saya.
dan yng bapak katakan di atas memang benar. kita menganggap orang lain sebagai penghalang. saya mengalaminya!
Penulis berpandangan sempit, melihat lomba hanya dari sisi negatifnya, bahkan mengambil contoh kecil yang tidak relevan, karena tidak semua anak penjiplak. Sebenarnya lomba banyak manfaatnya, seperti bertemu teman-teman baru, belajar menerima kekalahan, belajar mencapai kemenangan, belajar mengontrol rasa gugup, melatih keberanian, memahami sportifitas. Analisa anda membandingkan ekonomi kita dengan negara barat juga sangat dangkal, anda tentu paham kita dijajah Belanda 350 tahun lamanya dan tentunya butuh waktu lama untuk merecovery perekonomian negara, kalau ada yang juara Olimpiade tentu suatu nilai plus bagi negara kita, Kompetisi itu tetap perlu, lomba itu belajar berkompetisi
Isi nya tiba-tiba menampar keras. Benar, terkadang saya yang sekarang masih sekolah sangat merasakan dampak negatif dr sebuah kompetisi. Saya yang pernah diikutkan lomba olimpiade dan kalah rasanya itu mempunyai efek benci dan rasa rendah diri yang luar biasa. Memang sebenarnya efek kolaborasi sangat penting tapi jika dilihat dr kehidupan sekolah saya yanh sekarang, itu sangat susah bahkan untuk kerja kelompok dan berdiskusi hanya dilimpahkan kepada satu orang. Ini yang membuat dilema pendidikan sekarang yang ingin menekankan karakter tanpa mau melihat karakter orang tersebut secara dalam.
Ini terlalu keren !
Jujur saya mengalami, saya bukti nyata bahwa perlombaan (dengan pengarahan yang salah) hanya membuat saya semakin insecure.
Saya kelahiran 1992
Sejak lahir saya merasa : jelek, hitam, selalu dibandingkan dengan adik. Miskin, tertinggal (dari segi fashion hingga gen “mewah” keluarga) dari teman2 saya di SD swasta
Setiap waktu saya merasa ingin menjadi hebat, tapi tidak mampu : otak pas pasan, kurang fasilitas, kurang mentor (saya berharap punya orangtua seperti orangtua teman saya yang bisa mengarahkan saya).
Akhirnya setiap kali ada lomba saya bersungguh2. Tapi karena tak kunjung dilirik (tetap masih dipandang sebelah mata oleh teman2) saya semakin terobsesi berprestasi (tapi apa daya otak saya tidak mampu).
Saat ikut lomba di koran, ayah saya yang mengerjakan. Dan saya juara 3. Sejak itu saya dianggap hebat, prestasi itu membuat saya diterima.di.perguruan tinggi negeri favorit di Indonesia, meski nilai mata pelajaran saya biasa saja.
Akhirnya saat di kampus saya ngosngosan tertinggal jauh, karena memang kemampuan saya jauh dari mereka, karena memang prestasi saya di koran itu adalah prestasi ayah saya.
Meskipun begitu, itu menjadi motivasi saya sampai hari ini, bahwa saya harus membuktikan bahwa saya memang bisa, saya ingin membayar kebohongan itu dengan prestasi saya yang sesungguhnya.
Doakan saya pak !
Terima kasih tulisannya menginspirasi saya sebagai ibu muda.