Bila Tanpa Sistem Ranking, Bagaimana Anak Bisa Siap Bersaing?
Banyak orangtua menuntut guru dan sekolah menyediakan sistem ranking kelas anaknya. Orangtua berharap bisa melihat daya saing anaknya. Benarkah?
Penghapusan sistem ranking murid memang menjadi pro kontra antara orangtua, guru dan pihak sekolah. Sekolah menumbuhkan bersikap tegas menghapus sistem rangking yang berakibat kerepotan menghadapi tuntutan orangtua. Orangtua berpendapat dengan mengetahui ranking anaknya, maka mereka mengetahui seberapa jauh daya saing anaknya dibandingkan murid yang lain. Lagi pula sebagian perguruan tinggi mensyaratkan data rangking sebagai syarat mendapatkan rekomendasi. Meski ini merupakan salah satu salah kaprah terbesar perguruan tinggi dalam memilih calon mahasiswa (Baca artikel: Kontradiksi Penghapusan Sistem Rangking di Sekolah)
Apakah sistem ranking sejalan dengan tujuan pendidikan? Apa saja kerugian penggunaan sistem ranking?
Ada dua acuan dalam melakukan penilaian terhadap proses dan hasil belajar anak yaitu berbasis norma (rangking) atau berbasis kriteria. Acuan berbasis norma membandingkan capaian anak dengan capaian pada kelompoknya (kelas, sekolah dll). Acuan berbasis kriteria membandingkan capaian anak dengan kriteria-kriteria tertentu yang menjadi sasaran belajar.
Acuan berbasis norma, seperti sistem rangking, memang memudahkan untuk melihat perbandingan capaian anak dibandignkan kelompoknya. Orangtua bisa melihat apakah anak kita masuk 10 besar atau 10% tertinggi. Orangtua pun puas melihat hasil perbandingan tersebut. Tapi kemudahan pula yang menjadi salah kaprah acuan berbasis norma karena ada banyak hal esensial yang tidak terlihat dari perbandingan tersebut.
Apa saja salah kaprah sistem ranking?
Sistem ranking hanya menunjukkan capaian relatif. Artinya, peringkat anak kita tergantung pada kemampuan rata-rata murid di kelasnya. Apa artinya peringkat satu di kelas yang rata-rata memang kemampuannya rendah? Jadi jurus paling mudah menempati rangking satu adalah masuk di kelas yang nilai rata-ratanya lebih rendah. Tentu bukan hal yang baik untuk anak kita bukan?
Sistem ranking menyembunyikan capaian belajar yang esensial. Anak kita jadi peringkat satu memang membuat kita puas. Tapi peringkat tersebut tidak menunjukkan capaian belajar yang esensial. Pendidikan adalah proses tumbuh kembang yang berkelanjutan sehingga setiap jenjang mensyaratkan kemampuan tertentu yang perlu dikuasai anak kita. Dengan melihat pada ranking, kita justru mengabaikan kemampuan yang penting dikuasai anak pada setiap jenjangnya. Semakin tinggi jenjangnya akan semakin terasa bahwa anak bisa terus menerus rangking pertama tapi sebenarnya tidak menguasai kemampuan untuk belajar dan hidup mandiri.
Sistem ranking menyampaikan pesan yang keliru. Ketika peringkat yang menjadi nomor satu, maka anak akan mendapatkan pesan bahwa ia harus mengejar peringkat setinggi-tingginya. Semua daya upayanya pun dikerahkan untuk mencapainya sehingga anak pun terbiasa belajar hanya menjelang ujian atau upaya lain untuk memastikan nilainya lebih tinggi. Anak pun melupakan bahwa manfaat belajar bukan sekedar ranking, tapi penguasaan kemampuan yang akan menjadi bekalnya dalam menghadapi tantangan hidup.
Sistem ranking menumbuhkan motivasi eksternal. Anak-anak yang belajar pada sekolah yang mengutamakan peringkat akan termotivasi belajarnya berdasarkan motivasi eksternal. Belajar hanya bila dinilai atau berpengaruh pada nilai dan peringkatnya. Kegemaran belajar yang sudah dimilikinya sejak lahir pun perlahan menghilang. Belajar menjadi beban.
Sistem ranking menciptakan suasana kompetisi. Riset membuktikan belajar efektif pada suasana kolaboratif (Baca tulisan: Kompetisi). Tapi prasyarat itu gagal dipenuhi bila sekolah menerapkan sistem rangking. Alih-alih kolaborasi, suasana sekolah justru menjadi sengit dengan persaingan. Murid yang satu bersaing dengan murid yang lain. Kelompok-kelompok kecil terbentuk untuk bersaing dengan kelompok lain. Sambil lupa bahwa saingan mereka dalam hidup sebenarnya bukanlah teman-temannya.
Pada akhirnya, jangan sampai peringkat yang bersifat relatif diyakini orangtua untuk menyiapkan anak menghadapi tantangan kerja dan kehidupan. Peringkat terhadap teman kelasnya tidak berarti sama sekali ketika anak harus menghadapi tantangan kerja dan kehidupan. Dalam kerja dan kehidupan, anak tidak hanya menghadapi teman kelasnya 🙂
Jadi langkah sekolah menumbuhkan untuk menghapus sistem rangking sudah tepat. Sayangnya, penghapusan sistem rangking tidak disertai sosialisasi yang memadai pada orangtua. Apa pengganti sistem rangking untuk mengetahui daya saing murid?
Masih ada pilihan lain yaitu penilaian berdasarkan acuan pada kriteria. Sistem kriteria ini mensyarakatkan sekolah memaparkan kemampuan yang penting dikuasai anak pada setiap semester/tahun ajaran. Pada setiap akhir siklus belajar (term/semester), guru menunjukkan capaian murid dibandingkan dengan kemampuan yang diharapkan dikuasainya. Apa saja kemampuan murid yang sudah diatas kriteria, sesuai kriteria dan masih di bawah kriteria. Guru, murid dan orangtua kemudian membuat kesepakatan untuk pengembangan dan perbaikan kemampuan murid untuk siklus belajar berikutnya.
Dengan acuan pada kriteria, orangtua mendapatkan informasi capaian belajar yang esensial. Guru dan orangtua bekerja sama untuk membantu murid mencapai kemampuan yang diharapkan karena kemampuan pada suatu jenjang dibutuhkan untuk belajar pada jenjang berikutnya. Dengan demikian, murid belajar berkelanjutan pada setiap jenjang sehingga pada akhir jenjang pendidikan menengah, murid siap untuk belajar dan hidup mandiri. Mereka tahu arah kariernya akan kemana setelah lulus pendidikan menengah.
Pastikan Anda memilih sekolah menumbuhkan, sekolah yang tidak menggunakan rangkin sebagai acuan penilaian hasil belajar anak Anda. Dapatkan Panduan Memilih Sekolah untuk Anak Zaman Now yang dilengkapi panduan observasi dan wawancara untuk memililih sekolah menumbuhkan.
Apakah Anda sudah tahu penguasaan anak Anda terhadap kemampuan sesuai jenjang pendidikannya? Atau hanya tahu sebatas peringkat anak pada sistem ranking di kelas dan sekolahnya?
2 pemikiran pada “Bila Tanpa Sistem Ranking, Bagaimana Anak Bisa Siap Bersaing?”